Kisah Syeh Abdul Qadir Al Jaeilani


Kisah Syeh Abdul Qadir Al Jaeilani

Sejarah Syeh Abdul Qodir Al Jaelani

Syeh Abdul Qadir Al Jaeilani berikut nasab dari pihak ayahnya adalah :
Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abu Shahih Musa bin Janka Dawsat (Janki Doasti) bin Abdullah bin Yahya Az-Zahid binMuahammad bin Dawud bin Musa bin Abdullah bin Musa Al-Juni bin Abdullah bin Al-Mahdi bin Hasan Al-Mutsanna bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra semoga ridho Allah dicurahkan kepada mereka semua.
Jadi, silsilah nasab Syeh Abdul Qadir Al Jaeilani bersambung kepada Nabi Muhammad Rasulullah SAW dari puteri beliau yang bernama Sayyidah Fatimah Az-Zahra RA yang bernama Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA.

Adapun silsilah dari ibunya adalah :
Abdul Qadir bin fathimah binti Abdullah bin Abu Jamaluddin bin Thahir bin Abdullah bin Kamaludin Isa bin Muhammad Al-Jawad bin Ali Ar-Ridha bin Musa Al-Kadzim bin Ja’far As-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainul Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib semoga ridho Allah dicurahkan kepada mereka semua.
Sepanjang masa bayinya, dia tidak pernah makan selama bulan puasa

Suatu ketika pada awal Ramadhan, cuaca yang mendung dan orang-orang tidak dapat melihat bulan baru, Tidak tahu apakah bulan tersebut Ramadhan sesungguhnya telah dimulai atau belum, lalu mereka datang kepada Ummul Khair Fathimah, ibunda Syeh Abdul Qadir, dan menanyakan apakah si anak sudah makan hari itu?
Karena dia belum makan, mereka menduga bahawa puasa telah dimulai.

Abdul Qadir Al Jaeilani RA menceritakan :
“Ketika kecil, setiap hari aku selalu didatangi seorang malaikat dalam bentuk pemuda tampan, Dia mula berjalan bersamaku dari rumah kemadrasah dan membuat anak-anak lain didalam kelas memberiku tempat dibarisan pertama, Dia tinggal bersamaku sepanjang hari dan kemudian membawaku pulang kerumah, Dalam sehari, aku belajar lebih banyak daripada murid lain yang belajar dalam satu minggu. Aku tidak tahu siapa dia (awalnya). Suatu hari aku bertanya kepadanya, dan dia berkata, aku salah satu malaikat Allah. “Dia mengirim dan memerintahku untuk bersamamu selama engkau belajar”.
Beliau kembali menceritakan mengenai masa kanak-kanaknya, dia berkata :
“Setiap kali ingin pergi bermain dengan anak-anak lain, aku mendengar satu suara berkata; Datanglah kepada-Ku sebagai gantinya, wahai orang yang diberkati! Datanglah kepadaku.”
Dalam keadaan ketakutan, aku pergi dan mencari ketenangan dibalik lengan ibuku. Sekarang, bahkan dalam ketaatan penuh dan khalwat (pengasingan) yang panjang, aku tidak dapat mendengar dengan jelas suara tersebut.”
Ketika Abdul Qadir Al Jaeilani ditanya oleh seseorang, apa kuncinya yang membawa dirinya pada tingkatan spiritual yang tinggi?.
Beliau berkata :
“Kejujuran yang telah aku janjikan kepada ibuku”
Abdul Qadir Al Jaeilani menceritakannya sebagai berikut :
“Suatu hari, malam ‘Aidul Adha, aku pergi ke ladang kami untuk membantu menggarap tanah, Semasa aku berjalan dibelakang lembu jantan, dia memalingkan kepalanya dan memandangku seraya berkata, “engkau tidak diciptakan untuk (pekerjaan) ini!”
Sungguh, aku sangat ketakutan dan berlari kerumah dan memanjat ke atap rumah petak bertingkat.
Ketika melihat ke luar, tiba-tiba aku melihat para Jemaah haji sedang berkumpul (wuquf) di padang Arafah,di Arabia,tepat di depanku.

Lalu aku segera pergi menemui ibuku, yang waktu itu sudah menjadi janda, dan meminta kepadanya : “kirimlah aku ke jalan kebenaran berilah aku izin untuk pergi ke Baghdad untuk mendapatkan ilmu pengetahuan bersama-sama orang bijak dan orang-orang yang dekat kepada Allah Azza Wa Jalla.”
Ibu bertanya kepadaku “apa alasan permintaanmu yang tiba-tiba tersebut?”
Aku mengatakan kepadanya apa yang telah terjadi pada diriku.
Beliau menangis mendengar ceritaku, lalu mengeluarkan lapan puluh keping emas.
Semuanya adalah warisan ayahku. Dia menyisihkan (mengasingkan) empat puluh untuk saudara lelakiku, Empat puluh keping lainnya di jahit dibahagian ketiak mantel (baju/kot). Kemudian dia mengizinkan untuk meninggalkan dirinya. Sebelum membiarkan aku pergi, beliau menasihatiku bahwa aku harus berkata benar dan menjadi orang yang jujur apa pun yang terjadi.

Ibu melepas kepergianku dengan kata-kata, “mudah-mudahan Allah SWT melindungi dan membimbingmu wahai anakku. Aku memisahkan diriku sendiri dari orang yang paling mencintaiku kerana Allah. Aku tahu bahwa aku tidak akan dapat melihatmu sampai hari pengadilan Terakhir tiba.”

Taubatnya seorang kepala perompak ditangan Syeh Abdul Qadir Al Jaeilan

Aku bergabung dengan sebuah kafilah yang pergi ke Baghdad.
Ketika kami telah meninggalkan Kota Hamadan, sekelompok perompak jalanan, enam puluh penunggang kuda yang gagah menyerang kami.

Mereka mengambil segala sesuatu yang dibawa kafilah tersebut, salah seorang diantara mereka datang kepadaku dan bertanya :
“Hai anak muda, harta apa yang engkau miliki?”
Aku menceritakan kepadanya bahwa aku memiliki empat puluh keping emas.
Dia bertanya dimana kau simpan? Aku mengatakan :
“dibawah lenganku”
Dia tertawa dan meninggalkanku sendiri.
Penjahat lainnya datang dan menanyakan hal yang sama dan aku pun mengatakan hal yang sebenarnya, dia juga meninggalkanku sendirian, aku fikir mereka pasti hendak mengadukan hal tersebut kepada pemimpinnya, dimana mereka sedang membahagikan hasil rampasan, pemimpin mereka bertanya tentang barang berharga milikku.

Aku mengatakan kepadanya bahwa aku memiliki empat puluh keping emas yang dijahit dimantelku di bawah ketiak.

Pemimpin perompak lalu mengambil mantelku, merobek dibahagian lengan, dan menemukan emas tersebut. Kemudian dia bertanya kepadaku dalam ketakjuban :
“Hartamu telah aman, apa yang memaksamu untuk menceritakan kepada kami bahwa engkau memilikinya dan memberitahukan tempat engkau menyembunyikannya?”
Aku menjawab :
“Aku harus mengatakan yang benar dalam apa keadaan sekalipun, sebagaimana yang telah aku janjikan kepada ibuku”
Ketika ketua perompak mendengar hal itu, ia menitiskan air mata dan berkata :
“Aku telah mengingkari janjiku kepada siapa yang telah menciptakanku, aku mencuri dan membunuh.
Apa yang akan terjadi padaku?.
Dan perompak lain memandangnya sambil berkata, “engkau telah menjadi pemimpin kami selama bertahun-tahun dalam perbuatan dosa ini, sekarang juga engkau tetap menjadi pemimpin kami dalam penyesalan”.
Keenam puluh orang itu memegang tanganku dan menyatakan penyesalannya serta keinginannya untuk mengubah jalan mereka, mereka merupakan orang pertama yang memegang tanganku dan mendapatkan keampunan untuk dosa-dosa mereka.

Ketika Syeh Abdul Qadir Al Jaeilani tiba di Baghdad, beliau berusia lapan belas tahum.
Tatkala dia mencapai pintu gerbang kota, Nabi Khaidir A.S muncul dan menghalanginya untuk memasuki kota, Nabi Khaidir berkata kepadanya bahwasanya hal itu ia lakukan atas perintah Allah SWT agar ia tidak memasuki kota Baghdad hingga tujuh tahun akan datang.

Al Khaidir membawanya ke sebuah runtuhan di gurun pasir dan berkata :
“Diamlah engkau disini dan jangan meninggalkan tempat ini.”
Syeh Abdul Qadir Al Jaeilani tetap tinggal di sana selama tiga tahun.
Setiap tahun Al Khaidir datang kepadanya dan berkata kepadanya dimana dirinya harus tinggal.
Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani RA bercerita tentang masa tiga tahun yang dilaluinya.
Syeh Abdul Qadir Al Jaeilani sewaktu didalam proses Mujahadah dan Riyadhah :
“Selama aku tinggal di gurun, di luar kota Baghdad, semua keindahan dunia telah datang menggodaku.
Allah SWT Wa Adzuma Sya’nuh telah memberikanku kemenangan atasnya.
Nafsuku mengunjungiku setiap hari dalam wujud dan bentukku sendiri dan meminta untuk menjadi temannya. Ketika aku akan menolaknya, ia hendak menyerangku, Allah SWT memberiku kemenangan dalam perlawananku dan pada waktunya aku dapat menjadikannya tawananku dan menahannya bersamaku selama tahun-tahun itu serta memaksanya untuk tinggal di runtuhan padang pasir.

Satu tahun penuh aku telah memakan rumput-rumputan (dedaunan) dan akar-akarnya yang kutemukan dan aku tidak meminum air apa pun, tahun yang lain aku meminum air tetapi tidak makan apa pun, tahun selanjutnya aku makan, tidak minum ataupun tidur. Sepanjang waktu itu, aku hidup dalam runtuhan dari istana raja-raja Kuno Parsi di Kurkh (kharkhi). Aku berjalan dengan kaki telanjang (tanpa alas kaki) diatas duri padang pasir dan tidak merasakan suatu apa pun.

Setiap kali aku melihat sebuah batu atau bukit yang terjal (curam) atau juram aku memanjatnya, aku tidak memberikan istirahat satu minit pun atau menyenangkan nafsuku kepada keinginan-keinginan rendah badaniku (Jasmani). Pada akhir dari masa tujuh tahun itu, aku mendengar satu suara pada suatu malam, “Hai Abdul Qadir,engkau sekarang diizinkan memasuki Kota Baghdad!”
Aku tiba di Baghdad dan melewatkan beberapa hari di sana. Segera aku tidak dapat berada dalam keadaan yang hasutan,kejahatan,tipu daya telah menjadi kebiasaan kota. Lalu untuk menyelamatkan diriku sendiri dari kejahatan kota yang mengalami kemerosotan akhlak dan menyelamatkan keimananku, aku meninggalkannya, hanya kitab suci Al-Quran yang kubawa bersamaku”.
Ketika tiba dipintu gerbang dalam perjalanan untuk berkhalwat (menyendiri) di padang pasir, aku mendengar satu suara :
“Kemana engkau hendak pergi?” kata suara itu.
 “kembalilah,engkau harus melayani orang-orang.”
“Apa yang dapat kupedulikan tentang orang lain?”
Aku menyanggah, “aku ingin menyelamatkan keimananku., “kembalilah dan jangan pernah merasa bimbang terhadap keimananmu, “suara itu melanjutkan (meneruskan) “tidak ada sesuatu pun yang akan membahayakanmu”.
Aku sungguh tidak dapat melihat orang yang berkata tersebut, kemudian sesuatu terjadi kepadaku.
Aku terputus dari keadaan lahiriyyah lalu tenggelam dalam keadaan tafakur, sampai hari berikutnya aku memusatkan fikiran pada sebuah harapan dan berdoa kepada Allah Azza Wa Jalla agar Dia membukakan selubung untukku sehingga aku tahu apa yang harus aku lakukan.

Hari berikutnya, ketika tengah berkeliling di sebuah permukiman bernama Mudzaffariyyah, seorang lelaki yang sebelumnya tidak pernah kulihat membuka pintu rumahnya dan mempersilakan untuk aku masuk :
“Mari Abdul Qadir!”

Ketika aku sampai dipintunya, dia berkata :
“Katakan kepadaku, apa yang engkau harapkan dari Allah? Doa apa yang telah engkau panjatkan kelmarin?”
Saat itu aku ketakutan, namun diliputi penuh ketakjuban, aku tidak dapat menemukan kata-kata untuk menjawabnya, lelaki itu memandang ke wajahku dan menghempaskan pintu dengan kasar sehingga membuatkan debu yang berkumpul disekelilingku menutupi seluruh tubuhku, aku berjalan pergi sambil bertanyakan apa yang telah kuminta dari Allah SWT sehari sebelumnya.

Kemudian aku teringat, lalu aku segera balik kembali untuk mengatakan kepada lelaki tersebut tetapi aku tidak dapat menemukannya baik rumah ataupun dirinya. Aku sangat bimbang ketika menyedari bahwa dia adalah seorang yang dekat kepada Allah Ta’ala, sungguh akhirnya aku mengetahui beliau adalah Syeh Hammad Ad-Dabbas yang telah menjadi guruku.

Pada suatu malam yang dingin dan hujan gerimis, satu tangan yang tidak terlihat jelas membawa Syeh Abdul Qadir Al Jaeilani ke tempat bermalam para sufi (zawiyah) milik Syeh Abdul Hammad bin Muslim Ad-Dabbas.
Syeh yang mengetahui berkat Ilham Ilahiyah tentang kedatangan Syeh Abdul Qadir Al Jaeilani menutup pintu-pintu tempat menginap Shufiyah (zawiyah) dan memadamkan lampu.

Ketika beliau duduk diambang pintu yang terkunci, beliau tertidur, beliau berihtilam dimalam hari, lalu dia mandi di sungai dan mengambil wudhu, dia tertidur lagi dalam hal yang sama terjadi sampai tujuh kali pada malam itu, maka beliau mandi dan mengambil air wudhu dalam sedingin es.

Pada harinya, pintu gerbang telah terbuka dan Abdul Qadir memasuki tempat penginapan sufi (zawiyah),  Syeh Hammad Ad-Dabbas berdiri menyambutnya sambil menitiskan air mata gembira, dia memeluknya dan berkata :
“Wahai putraku Abdul Qadir!”, keberuntungan adalah milik kami hari ini, tetapi esok hal itu akan menjadi milikmu. Jangan pernah (jangan sekali-kali) meninggalkan Tareqat (jalan) ini.”
Syeh Hammad Ad-Dabbas menjadi guru pertama Syeh Abdul Qadir Al-Jailani dalam ilmu pengetahuan tentang kesufian dengan memegang tangannya dia mengucapkan sumpah (bai’at) dan mengikuti jalan kaum sufi.

Syeh Abdul Qadir Al-Jailani RA menceritakan :
“Aku banyak belajar dengan guru di Baghdad tetapi setiap kali aku tidak dapat memahami sesuatu atau menemukan secara kebetulan suatu rahsia yang ingin aku ketahui Syeh Hammad Ad-Dabbas menerangkan kepadaku, kadang-kadang aku meninggalkannya untuk mencari pengetahuan dari Syeh yang lain tentang tauhid, hadis, fiqh dan ilmu-ilmu lainnya.

Setiap kali aku kembali, beliau berkata kepadaku :
“Dari mana saja engkau?”
Kita telah memiliki demikian banyak makanan yang sangat bagus untuk tubuh, fikiran dan jiwa kita, sementara engkau telah pergi dan kami tidak dapat menahan sesuatu untukmu!
Pada waktu lain,beliau berkata :
“demi Allah, kemana engkau pergi? Adakah seseorang disekitar sini yang mengetahui lebih banyak daripadamu?
Para darwisnya (para Sufi) akan mengusikku secara terus menerus dan berkata, “engkau adalah seorang ahli hukum (ahli fiqih), seorang ahli sastera, seorang ahli pengetahuan dan seorang Ulama (alim Syariat), urusan apakah yang engkau miliki diantara kita? Mengapa engkau tidak keluar dari sini?”

Syeh (Hammad Ad-Dabbas) memarahi mereka dan berkata :
“Betapa memalukan kalian ini!
Aku bersumpah bahwa tidak ada seorang pun seperti dia diantara kalian, tidak ada seorang pun diantara kalian yang akan naik di atas jari kakinya, jika kalian berfikir aku kasar terhadapnya dan engkau meniruku, aku melakukannya untuk membawanya kepada kesempurnaan dan mengujinya, aku melihat dia dalam dunia spiritual yang keras seperti batu, besar seperti gunung.”
Syeh Abdul Qadir Al-Jailani merupakan contoh tauladan terbesar dari kenyataan bahwa dalam Islam mencari ilmu pengetahuan adalah kewajiban suci untuk semua orang lelaki dan perempuan dari ayunan hingga liang kubur.
Dia menjadi orang bijak terbesar dizamannya, dia menghafal Al-Qur'an Al-Karim dan mempelajari penafsirannya (tafsir) dari Ali Abul Wafa Al-Qail,Abu Khaththab Mahfuzh dan Abul Hasan Muhammad Al-Qadhi.

Menurut beberapa sumber, Abdul Qadir Al Jaeilani belajar dengan Qadhi Abu Sa’id Al-Mubarak bin Muharrami, ulama terbesar pada zamannya di Baghdad.
Meskipun telah mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan tentang jalan mistik dari Syeh Hammad Ad-Dabbas dan memasuki jalan tasawuf melalui tangannya, namun Syeh Abdul Qadir Al-Qadir Al-Jailani telah diberi Khirqah (jubah kesufian) sebagai simbol dari jubah Rasulullah SAW oleh Qadhi Abu sa’id.

Garis silsilah ijazah spiritual dari Qadhi Abu Sa’id Al-Mubarak bin Ali Al-Muharrami melalui Syeh Abu Hasan Ali bin Muhammad Al-Qurasyi,dari Abul Faraj Ath-Thursusi dari At-Tamimi dari Syeh Abu Bakar Asy-Syibli dari Abul Qasim Al-Junaid dari Sari As-Saqathi dari Ma’ruf Al-Khurkhi dari Dawud Ath-Tha’iyah dari Habib Al-Jamiy dari Hasan Al-Bashri dari Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Imam Ali menerima Khirqah (jubah kesufian) dari tangan mulia Nabi Muhammad SAW kekasih Allah, Tuhan semesta alam dan beliau menerimanya dari malaikat utama Jibrail a.s yang menerimanya dari kebenaran Tuhan Allah Azza Wa Jalla.

Seseorang bertanya kepada Syeh Abdul Qadir Al-Jailani , Apakah yang dia terima dari Allah Ta’ala?
Beliau menjawab tingkah laku dan pengetahuan yang baik.

Qadhi Abu Sa’id Al-Muharammi berkata :
“sesungguhnya Abdul Qadir Al-Jailani menerima Khirqah dari tanganku, tetapi aku juga menerima Khirqah dari tangannya.”
Qadhi Abu Sa’id Al-Muharrami mengajar di sebuah madrasah miliknya sendiri di Babul Azj di Baghdad,kemudian dia memberikan madrasah tersebut kepada Syeh Abdul Qadir Al-Jailani yang mulai mengajar disana.

Syeh Abdul Qadir Al-Jailani r.a telah berusia lima puluh tahun lebih pada wakti itu.
Kata-kata dan ucapannya mempersonakan dan menakjubkan sehingga menggugah (membangkitkan) hati orang-orang yang mendengarnya.
Para murid dan jemaahnya semakin berkembang pesat dalam jumlah yang banyak sehingga tidak ada tempat, baik di dalam ataupun di sekitar madrasah tersebut untuk menampung para pengikutnya.

Syeh Abdul Qadir Al Jaeilani r.a berkata mengenai permulaan mengajarnya :
“Pada suatu pagi aku melihat Rasulullah SAW, beliau bertanya kepadaku, mengapa engkau tidak berbicara? Aku berkata, aku adalah orang Persia/parsi (beliau lahir di Parsi), bagaimana aku dapat berbicara dengan Bahasa arab yang indah dari Baghdad?
“Buka mulutmu,” beliau berkata, dan kulakukan perintah beliau. Nabi Muhammad SAW lantas meniup nafasnya ke mulutku tujuh kali lalu berkata, “Pergilah,tunjukilah umat manusia dan ajaklah mereka kepada jalan Tuhanmu dengan bijak dan kata-kata indah.”
Aku menjalankan solat zuhur,dan aku melihat ramai orang sedang menungguku berbicara.
Ketika melihat mereka aku menjadi gembira,namun lidahku seakan-akan terkunci.

Kemudian aku melihat Imam Ali bin Abi Thalib yang diberkati.
Dia mendatangiku dan memintaku untuk membuka mulutku, kemudian meniupkan nafasnya sendiri ke dalam mulutku sebanyak enam kali. Aku bertanya :
“Mengapa anda tidak melakukannya sebanyak tujuh kali seperti yang dilakukan Rasulullah SAW?”
Sayyidina Ali r.a berkata :
“Kerana rasa hormatku kepada beliau Rasulullah SAW”
Kemudian Sayyidina Ali r.a pun menghilang.
Dari mulutku yang terbuka, keluarlah kata-kata :
“Sesungguhnya fikiran adalah juru-selam,menyelam jauh ke dalam lautan hati untuk menemukan mutiara kebijaksanaan (hikmah), ketika dia membawanya ke pantai kemakhlukannya, dia tumpah dalam bentuk kata-kata dari bibirnya dan dengan itu dia membeli ketaatan tak ternilai di pasar-pasar ibadah Allah SWT.”
Kemudian aku berkata :
“Dalam suatu malam, seperti salah satu dari malamku, jika seseorang diantaramu hendak membunuh keinginan-keinginan rendahnya,kematian akan terasa begitu manis sehingga engkau tidak akan dapat merasakan sesuatu yang lain di dunia ini.”
Sejak saat itu, walau dalam apa keadaan sekalipun bangun atau tidur, aku tetap mempertahankan tugasku mengajar.
Banyak sekali pengetahuan tentang keimanan dan agama dalam diriku, jika tidak berbicara dan menuangkannya keluar, aku akan merasakan bahwa hal itu akan meneggelamkan diriku. Ketika pertama kali mengajar, aku hanya mempunyai dua atau tiga orang murid sahaja, ketika mereka mendengarku, jumlah mereka bertambah menjadi tujuh puluh ribu orang.

Madrasahnya, maupun lingkungan disekitarnya tidak dapat menampung para pengikutnya, oleh sebab itu, dicarilah tempat yang lebih luas.
Orang kaya dan orang miskin di Baghdad turut membantu dalam penambahan bangunan-bangunan yang baru. Mereka yang kaya membantu dengan dana, manakala yang miskin membantu dengan tenaga  mereka, termasuklah kaum perempuan yang turut membantu bekerja.

Kelak Syeh Abdul Qadir Al Jaeilani, semoga Allah menyucikan jiwanya.
Beliau merupakah seorang Imam,ahli dalam masalah-masalah keagamaan,tauhid dan fiqh dan pemimpin dari mazhab Syafi’I dan Hambali dalam Islam.

Beliau adalah seorang yang sangat bijaksana dan berpengetahuan luas,seluruh manusia mendapat manfaat darinya, do'anya segera dikabulkan, baik ketika berdo'a untuk kebaikkan dan berdo'a untuk hukuman.
Dia adalah seorang yang banyak melakukan banyak keajaiban, manusia sempurna, yang selalu sedar serta ingat kepada Allah Azza Wa Jalla, merenung ,berfikir,menerima dan memberi pelajaran.

Dia mempunyai hati yang lembut,sifat yang mulia dan wajah yang selalu tersenyum,dia orang yang peka dan memiliki sikap yang sangat baik, berakhlak dalam tabiat serta dermawan dalam memberi materi dan nasihat serta pengetahuan.
Dia mencintai orang-orang,tetapi secara khususnya terhadap orang-orang yang beriman dan mengabdikan serta beribadah kepada Dzat Yang Maha Esa, menolong kepada siapa yang beriman.

0 Response to "Kisah Syeh Abdul Qadir Al Jaeilani"

Post a Comment

Kami Telah Menandai Spam Pada Komentar Yang Memberikan Link Hidup.