Pokok isi | : | Perjuangan Mengusir Penjajah |
Sumber | : | Di Kumpulkan dari berbagai sumber |
Thomas Matulesi atau Pattimura
Thomas Matulesi atau yang dikenal juga dengan nama Pattimura di lahirkan di Hiria, pulau Saparua, Maluku pada tahun 1783, pada masa pemerintahan Inggris, ia masuk dinal militer dan berpangkat sersan.
Pada tahun 1816, Belanda kembali menguasai Maluku pada waktu itu, Maluku di kenal sebagai penghasil rempah-rempah utama, maksudnya rempah-rempah itu harus dijual hanya kepada pedagang Belanda, tidak boleh kepada pedagang lain, harga penjualan sudah ditentukan oleh Belanda dan biasanya sangat murah.
Untuk mencegah perdagangan gelap dan mencegah hasil rempah-rempah yang berlebih, diadakan pelayaran Hongi, tujuannya adalah mengawassi setiap pulau dalam pelayaran perniagaan dan membinasahkan rempah-rempah yang dianggap berlebihan.
Belanda kemudia mengangkat Van den Berg sebagai residen di Saparua, serdadu-serdadu Belanda ditemukan di Benteng Duurstade.
Van de Burg memaksa pemuda-pemuda Maluku untuk menjadi serdadu yang akan dikirim ke Jawa, selain itu rakyat dipaksa kerja rodi (kerja paksa) tanpa menerima upah, akibatnya rakyat sangat menerita.
Munculnya perlawanan rakyat Maluku disebabkan adanya tindakan sewenang-wenang yang dilakukan Belanda, rakyat Maluku tidak tahan lagi di jajah, di bawah pimpinan Pattimura akhirnya mereka melakukan perlawanan.
Pada 16 mei 1817, dibawah pimpinan Pattimura rakyat Maluku berhasil menyerbu Benteng Duurstede, kekuatan Belanda dapat dilumpuhkan dan Van den Berg mati terbunuh.
Perang semakin berkoba dan meluas ke berbagai daerah di Maluku seperti Ambon, Seram, Hitu dan lain-lainnya.
Kekalahan ini menyebabkan Belanda mengirim pasukan yang lebih banyak ke Maluku, dibawah pimpinan Laksamana Buykes, Belanda berhasil menguasai Hitu, Huruku serta Saparua, karena kekuatan tidak seimbang, pasukan Pattimura semakin terdesak akhirnya Pattimura dan para pejuang lainnya di tangkap.
Dalam perjuangan tersebut Pattimura dibantu oleh beberapa tokoh seperti : Paulus Tiahahu dan anaknya Christina Martha Tiahahu, Thomas Patiwael Lucas Latumahina dan lain-lainnya.
Taunku Imam Bonjol
Nama asli Tuanku Imam Bonjol ialah Peto Syarif, ia dikenal pula dengan nama Mohammad Shahab, Imam Bonjol di lahirkan pada tahun 1772 di Tanjung Bunga, Sumatra Barat, maka dari itu ia di sebut sebagai Imam Bonjol.
Pada abad ke-19 di Minangkabau, Sumatra Barat, terjadi perselisihan dengan kaum Paderi dengan kaum Adat, kaum Paderi adalah golongan pemeluk agama Islam dan tidak dipengaruhi adat dan kebiasaan, sedangkan kaum Adat adalah golongan yang sudah memeluk agama Islam tetapi masih banyak dipengaruhi dengan Adat dan kebiasaan.
Adat itu bertentangan dengan ajaran Islam seperti : menyabung ayam, minum-minuman keras, berjudi dan lain-lainnya.
Kaum Paderi menentang berbagai kebiasaan yang dilakukan kaum Adat tersebut, sehingga timbul ketegangan yang menjurus pada bentrokan bersenjata di antara para pengikut kedua golongan tersebut.
Tuanku Imam Bonjol muncul sebagai pemimpin kaum Paderi yang terkenal, ia mengantikan Datuk Badaro dan melakukan pertempuran dengan kaum Adat dalam pertempuran tersebut kaum Ada terdesak.
Pada tahun 1821 kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda, sehingga Belanda dapat menduduki beberapa daerah di Sumatra Barat, kedatangan Belanda tidak disambut dengan baik oleh kaum Paderi, akhirnya meletuslah perang antara kaum Paderi dan Belanda, dan perang tersebut di kenal dengan sebutan perang Paderi yang berlangsung pada tahun 1821-1827.
Pada tahun 1821, Tuanku Pasaman mengerahkan ribuan rakyat menyerbu pos-pos Belanda di Semawang, Sulit Air, Sipinang dan tempat lainnya.
Mereka mengunakan senjata tradisional seperti tombak, parang, golok dan lainnya, sementara itu pihak belanda menggunakan senjata meriam dan sejenis senjata yang lebih modern.
Pada tahun 1822, pasukan Belanda berhasil menguasai Bonjol, dalam perang Paderi, Belanda mengunakan siasat benteng, yaitu didaerah yang sudah dikuasai dibangun benteng pertahanan, seperti benteng Fort de Kock di Bukittinggi.
Kaum Adat dan Kaum Paderi menyadari bahwa bantuan Belanda kepada kaum Adat hanya siasat adu domba belaka kemudian, kaum Adat bersatu dengan kaum Paderi menghadapi Belanda, akhirnya pasukan Belanda dengan kaum Paderi yang dipimpin Van den Bosch dapat dipukul mundur dan Bonjol dapat direbut kembali dari Belanda.
Bersatu kembali kaum Adat dengan kaum Paderi menimbulkan kekewatiran Belanda, akhirnya Belanda mengeluarkan pernyataan yang disebut "Pelakat Panjang" dengan isi :
1. Tanam paksa dan kerja paksa bagi masyarakat minangkabau.
2. Kepala-kepala daerah akan digaji.
3. Belanda akan bertindak sebagai penengah apabila terjadi perselisihan dikalangan rakyat (kaum Adat dan kaum Paderi)Pada tahun 1837, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Michels kembali menyerang Bonjol, dalam serangan ini pasukan Imam Bonjol terdesak akhirnya Imam Bonjol terpaksa mengadakan Perundingan dengan Belanda.
Namun perundingan ini gagal, pertempuran terjadi kembali dan benteng Bonjol jatuh ke tangan Belanda.
Pada tanggal 25 oktober 1837, Imam Bonjol berhasil ditangkap dan ditahan, ia kemudian diasingkan ke Cianjur, kemudian ke Ambon dan ke Manado, pada tanggal 6 november 1864 Imam Bonjol wafat dan dimakamkan di desa Pineleng, Manado.
Pangeran Dipenogero
Pangeran diponegoro sebenarnya masih keturunan kesultanan Yogyakarta, beliau dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 11 november 1785, putra dari Pangeran Adipati Anom (Sultan Hamkebuwono III) pada masa kecil, ia bernama Raden Mas Ontowiryo walaupun keturunan bangsawan beliau sangat akrab dengan rakyat kecil.
Pada saat Sultan Hamengkubuwono V berkuasa, Pangeran Diponegoro merasa kecewa dengan keadaan istana, akhirnya memutuskan untuk meninggalkan istana dan tinggal di Desa Tegalrejo, Yogyakarta, di sini ia lebih memusatkan perhatiannya dibidang agama, adat dan kerohanian.
Sementara itu, Belanda melakukan tindakan yang sangat menyinggung perasaan dan kehormatan Pangeran Diponegoro, Belanda bermaksud ingin membuat jalan kereta api yang melintasi tanah makam leluhur Pangeran Diponegoro, Patih Danureja atas perintah Belanda, memasang patok di atas tanah makam tersebut tanpa izin Pangeran Diponegoro, karena pemasangan tonggak-tonggak tersebut merupakan perbuatan sewenang-wenang, Pangeran Diponegoro pun mencabutnya.
Ketegangan antara Belanda dengan Pangeran Diponegoro tidak dapat dihindarkan, ketegangan itu memuncak pada tanggal 20 juli 1825 di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro, rakyat menyatakan perang terhadap belanda.
Pihak Belanda mulai membakar daerah Tegalrejo, Diponegoro meningkir ke Bukit Selarong, perlawanan Diponegoro ini mendapatkan sambutan luas di berbagai tempat dan kalangan.
Pangeran Diponegoro mendapatkan bantuan sepenuhnya dari Kiai Maja, Pangeran Mangkubumi dan Sentot Ali Basyah Prawiradja, demikian pula para ulama dan bangsawan turut berjuang bersama-sama dengan Pangeran Diponegoro.
Daerah-daerah lain ikut bangkit berjuang melawan Belanda seperti : Pacitan, Purwodadi, Banyumas, Pekalongan, Semarang, Rembang dan Madiun, Kiai Maja mengobarkan perang di daerah Surakarta, sementara Kiai Hasan Besari memimpin perang di daerah kedu.
Perlawanan yang dilakukan Pangeran Diponegoro tahun 1825-1827 menyebabkan pasukan Belanda terdesak dan mengalami banyak korban, pada tahun 1827 di bawah pemimpinan Jendral Van de Kock, Belanda menjalankan siasat perang benteng stelsel, siasat ini dilakukan dengan tujuan mempersempit wilayah kekuasaan Pangeran Diponegoro dengan cara mendirikan benteng-benteng pertahanan disetiap wilayah yang sudah dikuasai belanda.
Pangeran Diponegoro sangat sulit untuk ditaklukkan sehingga akhirnya Belanda menempuh cara licik dengan menawarkan perundingan, Jendral De kock berusaha mengadakan pembicaraan dengan Pangeran Diponegoro, bila perundingan gagal, Pangeran Diponegoro boleh pulang dengan.
Perundingan diselengarakan pada tanggal 28 maret 1830 di rumah Residen Kedu di Magelang, Jendral De Kock sudah mengatur siasat untuk menangkap Pangeran Diponegoro, Belanda menghianati perjanjian yang dibuatnya, yaitu membiarkan Pangeran Diponegoro pulang dengan selamat bila perundingan gagal, Pangeran Diponegoro ditangkap, kemudian di bawa ke Semarang, setelah di bawa ke Batavia (Jakarta), Pangeran Diponegoro diasingkan ke Manado, Sulawesi Utara.
Pada tahun 1834, Pangeran Diponegoro dipindahkan ke Makassar dan ditahan di Benteng Fort Rotterdam, Pangeran Diponegoro Meninggal dan dimakamkan di Makassar pada tanggal 8 januari 1855.
Pangeran Antasari
Kerajaan Banjarmasin merupakan sebuah kerajaan yang cukup makmur di Kalimantan Selatan, sehingga Belanda bermaksud merebut kerajaan tersebut, ketika itu Banjarmasin diperintah oleh Sultan Adam (1825-1857).
Usaha pertama Belanda untuk menguasai Banjarmasin adalah dengan mengadakan monopoli perdagangan yang kemudian dilanjutkan dengan mencampuri urusan kerajaan.
Kedatangan Belanda sangan ditentang oleh rakyat dan kalangan istana Banjar, rakyat menuntut agar Pangeran Hidayat diangkat menjadi sultan muda, calon penganti raja.
Sebaliknya Belanda mengangkat Tamjidillah sebagai sultan muda, pengangkatan yang tidak disenangi rakyat ini semakin memperuncing permusuhan antara Belanda dengan rakyat Banjar.
Pada tahun 1869, jabatan sultan muda dan jabatan mangkubumi yang selama ini dipegang oleh Pangeran Hidayat dihapus oleh Belanda.
Pada waktu yang bersamaan, Sultan Tamjidillah tidak mampu lagi memerintah, Banjar sepenuhnya diperintah oleh Belanda, akibatnya timbullah pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Hidayat.
Selain itu perlawananpun dilancarkan pada masa pemerintahan Sultan Amir, namun mengalami kekalahan, Sultan Amir akhirnya dibuang ke Ceylon (Srilangka).
Perlawanan rakyat melawan Belanda terus berlanjut pada tahun 1859, dibawah pimpinan Pangeran Antasari rakyat melanjutkan perjuangan melawan Belanda, ia berhasil menyerang pos-pos pertahanan Belanda, dalam berbagai pertempuran Pangeran Antasari dibantu oleh Pangeran Hidayat.
Adapun tokoh-tokoh lain yang membantu Pangeran Antasari ialah Kiai Demang Leman, Haji Nasrun, Haji Buyasin dan Kiai Langlang.
Pada tahun 1862, Pangeran Hidayat ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Jawa, menyusul tertangkapnya Kiai Demang Leman, namun Kiai Demang Leman dapat meloloskan diri untuk melanjutkan perlawanan.
Pada tanggal 11 oktober 1862, Pangeran Antasari wafat karena terserang penyakit cacar, Jenzahnya dimakamkan di Banjarmasin, sebagai pemimpin perang dan agama Pangeran Antasari diberi gelar Amiruddin Khalifatul Mukmin.
Perlawanan Rakyat Buleleng.
Sekitar abad ke-10, di Bali telah berdiri beberapa kerajaan seperti Buleleng, Karangasem, Badung dan Gianyar, di dalam wilayah kerajaan-kerajaan itu berlaku hukum yang disebut Hukum Tawang Karang, maksudnya, kerajaan-kerajaan di bali memiliki hak untuk merampas muatan kapal yang terdampar (karam) di pantai wilayah kerajaannya.
Pada saat itu, banyak kapal-kapal Belanda yang terdampar di wilayah Bali dan muatannya menjadi milik kerajaan di wilayah terdampar, melihat Hukum Tawang Karang Belanda juga memaksa agar raja-raja Bali mengakui kedaulatan Belanda di Bali.
Raja-raja Buleleng, Klungkung, Karangasem dan Gianyar menolak tawaran Belanda, karena penolakan ini akhirnya Belanda memutuskan untuk menyerang Bali.
Pada tahun 1844, ada kapal Belanda yang terdampar di Pantai Buleleng dan dikenakan Hukum Tawang Karang, Belanda tidak menerima kapalnya dikenakan Hukum Tawang Karang.
Pada tahun 1846, pasukan Belanda mendarat di Pantai Buleleng, Belanda mengeluarkan perintah yang berisi agar Raja Buleleng harus mengakui kekuasaan Belanda dan Hukum Tawang Karang harus dihapuskan dan kerajaan harus memberikan perlindungan kepada pedagang Belanda.
Raja Buleleng menolak perintah Belanda tersebut, sehingga terjadilah peperangan tersebut, Raja Buleleng dibantu oleh Patih yang bernama Ketut Gusti Jelantik, menghadapi perlawanan rakyat Bali, Belanda terpaksa mengerahkan pasukan secara besar-besaran sebanyak tiga kali, antara lain sebagai berikut :
1. Tahun 1846, dengan kekuatan 1.700 orang pasukan darat, Belanda menyerbu Bali, namun serangan tersebut dapat digagalkan oleh Patih Ketut Gusti Jelantik.
2. Tahun 1848, Belanda kembali mengirimkan pasukan militer, pertempuran sengit berkobar di daerah Jagarada.
3. Tahun 1840, untuk ke tiga kalinya Belanda mengirim pasukan dari Batavia (Jakarta) dalam jumlah besar.Pasukan Belanda dalam jumlah besar disambut oleh Patih Ketut Gusti Jelantik yang memimpin pasukan Bali, sementara itu pasukan Karagasem dan Buleleng melakukan perlawanan di sekitar Benteng Jagaraga. Rakyat Bali di bawah pimpinan Patih Ketut Gusti Jelantik, mengadakan perlawanan habis-habisan terhadap Belanda, oleh karena itu perang Bali disebut juga dengan Perang Puputan, setelah pertempuran berlangsung beberapa hari, pasukan Patih Ketut Gusti Jelantik terdesak, akhirnya benteng Jagaraga jatuh ke tangan Belanda, pada tahun 1849 Belanda dapat menguasai Bali Utara.
Setelah menguasai Bali Utara, Belanda mengadakan perluasan kekuasaan ke Bali Selatan, Belanda berhasil mendarat di Pantai Sanur dan memasuki Denpasar, selanjutnya secara berlarut-larut Belanda mengadakan penyerangan ke keratin Pamecutan dan Klungkung, raja Klungkung mengadakan perlawan habis-habisan karena persenjataan Belanda lebih unggul, Belanda dapat mengalahkan Klungkung dan mengusai seluruh Bali.
Perlawanan Sisingamangaraja XII (1870-1907)
Pada tahun 1867, raja kerajaan Bakkara di daerah Tapanuli, Sumatera Utara, Sisingamangaraja XI meninggal dunia, ia digantikan oleh putranya yang bernama Patuan Bosar Ompu Pulo Batu, setelah menjadi raja Bakkara ia bergelar Sisingamangaraja XII pada wakti itu, Belanda sudah mempunyai pos militer di daerah Sibolga, Belanda berusaha memperluas daerah kekuasaanya.
Pada masa pemerintahan Sisingamangaraja XII datanglah orang-orang Belanda yang bertujuan menguasai wilayah Tapanuli, Sisingamangaraja XII bersama rakyatnya angkat senjata dan mengadakan perlawanan terhadap Belanda.
Pada tahun 1878, Belanda menyerang daerah Tapanuli, serangan ini dapat digagalkan oleh rakyat Tapanuli, pada tahun 1889 pertempuran yang sangat hebat terjadi di daerah Silindung Humbang dan Tobe Hulbung, karena banyak prajurit yang gugur dimedan perang, sejak tahun 1900 Sisingamangaraja XII mengambil sikap bertahan.
Pada tahun 1904, pasukan Belanda menyerang Tanah Gayo dan daerah Danau Toba, pada tahun 1907, pasukan Belanda dibawah pimpinan Kapten Cristoffeel menyerang pusat pertahanan Sisingamangaraja XII di pak-pak, dalam serangan ini Sisingamangaraja XII gugur sebagai kusuma bangsa pada tanggal 17 juni 1907, Jenazahnya dimakamkan di Tarutung, kemudian dipindahkan ke Balige, perlawanan Sisingamangaraja XII terjadi antara tahun 1870-1907.
Perlawan Rakyat Aceh (1873-1904)
Ketegangan antara Aceh dengan Belanda telah terjadi pada tahun 1858, ketika itu Belanda mengadakan perjanjian dengan Sultan Siak, isi perjanjian tersebut adalah :
Sial harus menyerahkan wilayah Deli, Serdang, Langkat dan Asahan kepada Belanda.
Aceh menolak karena di anggap daerah itu merupakan Wilayah Aceh sejak pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Belanda mencoba untuk menguasai daerah Aceh.
Pada tanggal 5 april 1873, dibawah pimpinan Jendral J.H.R Kohler dan dengan mengerahkan 3.000 tentara Belanda mulai menyerang Aceh, pertempuran berkobar di sekitar Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, setelah pertempuran berlangsung beberapa lama, Masjid Raya Baiturrahman terbakar dan dapat dikuasai oleh Belanda.
Dalam pertempuran itu, pemimpin pasukan Belanda Jendral Kohler tewas, meskipun Masjid Raya Baiturrahman dapat dikuasai Belanda, namun hal tersebut tidak berlangsung lama, pasukan Belanda semakin terdesak dan pergi meninggalkan Aceh pada tanggal 29 april 1873.
Merasa tidak puas, Belanda kembali menyerang Aceh kali ini dibawah pimpinan Jendral J. Van Swieten dengan kekutan 8.000 tentara, Belanda dapat merebut istana Aceh, walaupun istana dapat di rebut Belanda, namun rakyat Aceh tetap melakukan perlawanan, dalam perlawanan ini muncullah tokoh-tokoh seperti :
Teuku Umar, Panglima Polim, Teuku Cik Di Tiro, Cut Nyak Dien dan lain-lainnya.
Peralawanan rakyat Aceh tidak menunggu perintah Sultan, rakyat berjuang dengan semangat perang, daerah yang berhutan lebat menyulitkan pasukan Belanda untuk bergerak maju.
Perlawan terus berkobar, Teuku Cik Di Tiro memimpin perlawanan di Pidie, Teuku Uma dan istrinya, Cuk Nyak Dien berjuang di Aceh Barat pada tahun 1879, Belanda menyerbu dari berbagai penjuru dan berhasil menguasai seluruh Aceh, namun demikian daerah-daerah hutan dan pegunungan masih dikuasai oleh rakyat Aceh, Teuku Ibrahiem memimpin perang Geriliya, namun dalam suatu penyerbuan ke pos Belanda Teuku Ibrahim gugur.
Perjuangan rakyat Aceh yang pantang menyerah membuat Belanda menjadi pusing, karena pasukannya sering terdesak, belanda menjalankan siasat baru yang disebut Stel Konsentrasi.
Artinya menjalankan siasat baru pada daerah-daerah yang sudah dikuasai, dengan siasat ini Belanda bisa menghemat tenaga, alat perang maupun biaya, meskipun demikian Belanda mengalami kerugian besar karena serangan terus-menerus dari para pejuang Aceh.
Pada tahun 1893, Teuku Umar berpura-pura menyerah kepada Belanda, Belanda sangat gembira dan ia diterima dalam dinas ketentaraan Belanda, ia di angkat menjadi Panglima Leguin Aceh, Teuku Umar diberi gelar Teuku Johan Pahlawan, Teuku Umar memimpin 250 orang prajurit dan meminta tambahan senjata dari Belanda, ternyata tindakan yang dilakukan Teuku Umar merupakan tipu muslihat belaka, setelah merasa kuat dan memiliki persenjataan lengkap, pada tahun 1896 Teuku Umar berbalik menyerang Belanda.
Belanda mengalami kesulitan dalam menghadapi rakyat Aceh, untuk itu Belanda berusaha mengetahui kekuasaan utama Aceh, kekuatan itu berhubungan dengan kehidupan sosial budaya, guna mengetahui kekuatan perjuangan rakyat Aceh, Belanda mengirimkan Dr. Snouck Hurgronje adalah seorang ahli mengenai Islam, ia berpura-pura menjadi sorang muslim yang taat dan berhasil bergaul dengan masyarakat Aceh.
Dengan hasil penelitiannya dapat diketahui, bahwa sebenarnya Sultan Aceh itu tidak mempunyai kekuatan apa-apa tanpa persetujuan dari pemimpin di bawahnya, selain itu diketahui pula bahwa peranan para ulama sangat besar.
Hasil penyelidikan Dr. Snouck Hurgronje ini dijadikan siasat oleh Belanda untuk menundukkan perlawanan rakyat Aceh, pemerintah belanda mengangkat Jendral Johanes Benedictus van Heutsz sebagai gubernur militer, ia segera membentuk pasukan gerak cepat dan dilatih sebagai pasukan anti geriliya, pasukan ini disebut Marsoe, pasukan Marsoe menyerang kubu-kubu pertahanan pasukan Aceh yang ada di hutan, gunung dan lembah secara terus-menerus, pasukan Aceh sedikitpun tidak diberi waktu untuk beristirahat.
Pada tahun 1899, Teuku Umar gugur dalam sebuah peperangan di Meulaboh, perjuangannya dilanjutkan oleh istrinya yaitu Cut Nyak Dien.
Pada tahun 1904, Van Heutsz mengeluarkan "Pelakat Pendek", yang harus di tanda tangani oleh kepala-kepala daerah di Aceh sebagai tanda bahwa Aceh tunduk kepada Belanda, dengan penandatanganan Plakat Pendek itu, Belanda berhasil menguasai seluruh Aceh, perjuangan rakyat Aceh berlangsung sampai dengan tahun 1937.
0 Response to "Perjuangan mengusir penjajah sebelum kebangkitan Nasional"
Post a Comment
Kami Telah Menandai Spam Pada Komentar Yang Memberikan Link Hidup.