Lelaku Sunan Kalijaga dan Pewayangan Bima

Sunan Kalijaga dan Pewayangan Bima

Jalan untuk mendekati diri kepada Allah disebut dengan Suluk, sementara manusia yang mencari jalan untuk mendekat kepada Allah disebut dengan Salik.
Kerinduan akan dekatnya diri dengan Allah, ini menjadikan seseorang mulai mencari asal mula dirinya dan bakal ia bawa kemana hidupnya ini, hal itulah yang juga pernah terjadi pada Sunan Kalijaga.

Beliau mencari sesuatu yang hakiki dari hidup ini, dan hal itu telah ditemukannya.
Tapi, beliau tidak semata-mata ingin membuka pengalaman Spiritual beliau tersebut secara gamblang, Sunan Kalijaga cenderung lebih memilih untuk menyamarkan pengalaman Spiritualnya lewat kisah pewayangan dengan lakon Dewaruci atau kadangkala orang menyebutnya lakon Wayang Bima suci.

Dalam lakon Dewaruci tersebut, mengisahkan tentang petualangan Bima dalam mencari Tirta Pawitra atau ‘Sangkan Paraning Dumadi’.
Proses pencarian jati diri yang akhirnya menemukan ‘Sangkan Paraning Dumadi’ tersebut di kalangan umat Islam sesuai dengan Hadist Kanjeng Nabi Muhammad yang berbunyi “Man arafa nafsahu faqad rabbahu” yang artinya : ‘Barang siapa mengenal dirinya niscaya dia mengenal Tuhannya’.

Bagian cerita Dewaruci menceritakan bahwa Bima berserah diri pada gurunya, sehabis berperang melawan Raksasa Rukmuka dan Rukmakala di Gunung Candramuka Hutan Tikbrasara, Bima kembali pada Pendeta Durna.

Air suci yang diperintahkan Pendeta Durna untuk mencarinya tidak didapat, ia menanyakan di mana tempat Tirta Pawitra yang sesungguhnya.
Pendeta Durna menjawab : “Tempatnya berada di tengah samudra”.
Mendengar jawaban itu Bima tidak putus asa dan tidak gentar.
Ia menjawab, “Jangankan di tengah samudra, di atas surga atau di dasar bumi sampai lapis tujuh pun ia tidak akan takut menjalankan perintah Sang Pendeta”.

Ia segera berangkat ke tengah samudra.
Semua kerabat Pandawa menangis mencegah tetapi tidak dihiraukan, keadaan Bima yeng berserah diri jiwa raga secara penuh kepada gurunya.
Berangkatlah Bima ke tepi lautan, tanpa ragu-ragu ia melangkah ke tengah laut karena meyakini apa yang dicarinya ada di tengah samudra.

Ketika berada di tengah samudra itulah, Bima bertemu dengan Dewaruci yang bertubuh kecil.
Sang Dewaruci menegur Bima : ”Hai Bima, apa yang kau cari di tengah samudra ini?
Bima pun menjawab bahwa dirinya mencari tirta pawitra seperti diperintahkan gurunya, Begawan Durna. Dewaruci memperingatkan Bima bahwa apa yang dicarinya tidak ada di tengah samudra.
Tetapi Bima tetap ingin mencarinya.

Singkat cerita, lantaran tekad Bima yang sangat besar itu, Dewaruci memerintahkan pada Bima untuk masuk ke dalam badan Dewaruci yang kecil.
Seketika Bima pun tertawa terbahak-bahak : “Bagaimana aku yang bertubuh besar bisa masuk ke dalam badanmu yang kecil? Itu jelas tidak mungkin,” kata Bima.
Tetapi Dewaruci pun menjawab : ”Hai Bima, besar mana tubuhmu dengan alam semesta ini?
Bima menjawab : ” Jelas lebih besar alam semesta ini.” “alam semesta yang katamu besar ini saja bisa masuk ke dalam tubuhku, mengapa kamu tidak bisa masuk? Kamu pasti bisa masuk,” tegas Dewaruci sembari memerintahkan Bima untuk masuk ke dalam badan Dewaruci melalui ‘telinga kiri’ sang Dewaruci.

Setelah masuk badan Dewaruci, Bima merasakan bahwa dirinya tidak melihat apa-apa.
Yang ia lihat hanyalah kekosongan pandangan yang tak terhingga.
Ke mana pun ia berjalan yang ia lihat hanya angkasa kosong, dan samudra yang luas yang tidak bertepi. Bima tidak tahu lagi mana arah barat dan timur, selatan dan utara.
Semuanya serba membingungkan, tiba-tiba ia melihat cahaya.
Cahaya yang dilihat Bima beraneka macam warna, beraneka macam warna cahaya itu dikalangan orang-orang yang lelaku disebut Pancamaya.

Bima melihat empat warna cahaya, yaitu :
Hitam
Merah
Kuning
Putih
Warna-warna itu melambangkan aneka nafsu yang merupakan penghalang cipta, rasa dan karsa untuk bertemu dengan Allah, nafsu yang muncul :
Warna hitam disebut aluamah
Warna merah disebut amarah
Warna kuning disebut sufiah.
Nafsu aluamah amarah, dan sufiah merupakan selubung atau penghalang untuk bertemu dengan Allah.
Hanya yang putih yang nyata, hati tenang tidak macam-macam, hanya satu yaitu menuju keutamaan dan keselamatan.
Akan tetapi, yang putih ini hanya sendiri, tiada berteman sehingga selalu kalah.
Jika bisa menguasai yang tiga hal, yaitu :
Merah
Hitam
Kuning
Manunggalnya hamba dengan Tuhan terjadi dengan sendirinya ; sempurna hidupnya.
Setelah itu warna-warna yang dilihat Bima itupun hilang dan berganti dengan 8 warna.
Siji wolu kang warni ‘sinar tunggal berwarna delapan’.
Disebutkan bahwa sinar tunggal berwarna delapan adalah “Sesungguhnya Warna”, itulah Yang Tunggal. Seluruh warna juga berada pada Bima, demikian pula seluruh isi bumi tergambar pada badan Bima.
Dunia kecil, mikrokosmos, dan dunia besar, makrokosmos, isinya tidak ada bedanya.
Jika warna-warna yang ada di dunia itu hilang, maka seluruh warna akan menjadi tidak ada, kosong, terkumpul kembali kepada warna yang sejati, Yang Tunggal.

Setelah itu, Bima melihat benda bagaikan boneka gading yang bersinar. Itu adalah Pramana, secara filosofis melambangkan Roh.
Pramana ‘Roh’ kedudukannya dibatasi oleh jasad.
Seusai semuanya, Bima tidak lagi merasakan apa-apa, ia merasakan dirinya sudah tidak ada dan lenyap bersama dengan Keberadaan-Nya.

Bima tak merasakan khawatir, tidak ingin makan dan tidur, tidak merasakan lapar dan mengantuk, tidak merasakan kesulitan, hanya nikmat semata.
Hal ini menyebabkan Bima betah berlama-lama di tempat dan kondisi tersebut.

Pencarian Bima Suci itupun akhirnya berakhir dengan kebahagiaan.
Untuk itu, tidak ada salahnya jika kini Anda mulai menjadi seorang salik yang mencari suluk sejati seperti halnya laku Sunan Kalijaga yang disamarkan lewat kisah Bima Suci atau Dewaruci.

0 Response to "Lelaku Sunan Kalijaga dan Pewayangan Bima"

Post a Comment

Kami Telah Menandai Spam Pada Komentar Yang Memberikan Link Hidup.