Manaqib Syeh Abdul Qodir Al jaelani

Manaqib Syeh Abdul Qodir Al jaelani

Tradisi sebagian masyarakat adalah Manaqiban

Manaqiban memiliki aspek mistikal, sebenarnya kata Manaqiban berasal dari kata ‘manaqib’ (bahasa Arab), yang berarti Biografi, kemudian ditambah dengan akhiran ‘an’ (bahasa Indonesia) menjadi Manaqiban yang berarti kegiatan pembacaan Manaqib atau Biografi Syeh Abdul Qodir al Jailani, seorang Waliyullah yang sangat melegendaris di Indonesia.

Jika dilihat secara ilmiah, kitab Manaqib itu memang tidak istimewa.
Akan tetapi tampaknya dalam kehidupan para penganut tarekat, Manaqiban merupakan kegiatan yang Sakralnya, bahkan Manaqiban ini dilaksanakan oleh kebanyakan masyarakat dan santri pedesaan di Pulau Jawa dan Madura.

Isi kandungan kitab manaqib itu meliputi silsilah nasab Syeh Abdul Qodir al Jailani, sejarah hidupnya, akhlaq dan karomah-karomahnya, di samping itu tercantum juga do'a-do'a bersajak (nadham) yang bermuatan pujian dan tawassul  (berdoa kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala  melalui perantaraan ) Syeh Abdul Qodir.

Harapan para pengamal Manaqib untuk mendapat keberkahan dari pembacaan Manaqib ini didasarkan atas adanya keyakinan bahwa Syeh Abdul Qodir al Jailani adalah quthb al auliya (wali quthub) yang sangat istimewa, yang dapat mendatangkan berkah dalam kehidupan seseorang.
Hal ini dapat dipahami dari sya’ir berikut :
“Wahai para hamba Alloh dan tokoh-tokohnya Alloh…
tolonglah kami karena Alloh.
Jadilah tuan semua penolong kami karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala …
semoga kami berhasil meraih karunia Alloh.
Shalawat Alloh semoga terlimpah atas al-Kafi (yang mencukupi yakni Rosululloh Shallallahu alaihi wa sallam ), dan semoga keselamatan dari Alloh terlimpah atas asy-Syafi (yang menyembuhkan yakni Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam).
Dengan kemuliaan Muhyiddin (yakni Syaikh ‘Abdul Qodir)…
lepaskanlah kami dari berbagai macam musibah wahai Alloh…
Wahai para wali quthub, wahai orang-orang yang baik, wahai para tuan-tuan dan para kekasih…
Dan kalian wahai orang-orang yang berakal sempurna…
kemarilah dan tolonglah kami karena Alloh.
Kami meminta kepada kalian, kami meminta kepada kalian…
Karena kedekatan (kalian di sisi Alloh ) kami mengharap kepada kalian.
Untuk suatu perkara kami menghadapkan diri kepada kalian…
maka kencangkanlah tekad kalian (untuk menolong kami) karena Alloh.”
Akan tetapi dari sekian banyak muatan mistis dan legenda tentang Syeh Abdul Qodir al Jailani, yang paling dianggap istimewa dan diyakini memiliki berkah besar dalam upacara Manaqiban adalah karena dalam kitab Manaqib terdapat silsilah nasab Syeh.
Dengan membaca silsilah nasab ini seseorang akan mendapat berkah yang sangat banyak.

Secara umum diterimanya Manaqiban ini oleh para Kiai di Indonesia dan di Jawa khususnya, karena di dalam Manaqib disebut-sebut nama para nabi dan orang-orang sholih, khususnya pribadi Syeh sendiri.
Hal tersebut diyakini sebagai suatu amal sholih (kebaikan), berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :
“Mengingat para Nabi adalah ibadah, mengingat orang-orang sholih adalah kafarat (penghapusan dosa), mengingat kematian adalah shadaqah, dan mengingat kubur akan mendekatkan kalian ke  surga.” (HR. ad-Dailami).
Disamping karena motifasi kafarat tersebut, kebanyakan masyarakat pengamal Manaqib meyakini bahwa Manaqiban mendatangkan banyak manfaat seperti kesuksesan usaha, terkabulnya do'a, dan berkah-berkah lain sesuai dengan kepentingan masing-masing.

Pelaksanaan Manaqiban di dalam masyarakat biasanya diadakan dalam rangka selamatan, tasyakuran dan kegiatan-kegiatan penting lainnya.
Para pengamal Manaqiban meyakini bahwa ritual ini adalah suatu wasilah (syari’at) agar hajatnya tercapai dan terkabul.
Di saat pembacaan manaqib sebagian jamaah menghadirkan botol-botol berisi air yang diletakkan di depan guru dengan keyakinan bahwa air yang telah dibacai manaqib tersebut akan membawa keberkahan.

Hal Penting Dalam Manaqib

Di dalam Manaqiban ini terdapat beberapa kemungkaran yang membuatnya bukan termasuk amal sholih apalagi diyakini bisa membawa keberkahan, kemungkaran-kemungkaran tersebut di antaranya adalah :
Ber-istighatsah kepada Syeh Abdul Qodir al Jailani dan para wali dalam memohon pertolongan dan dilepaskan dari kesulitan.
Dengan kata lain meminta dan berdoa kepada Syeh.
Hal ini terlihat jelas dalam bait-bait sebagai berikut :
Wahai para hamba Alloh dan tokoh-tokohnya Alloh…tolonglah kami karena Alloh.
Jadilah tuan semua penolong kami karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala…semoga kami berhasil meraih maksud dengan  keutamaan Alloh.
Wahai para wali quthub, wahai orang-orang yang baik, wahai para tuan-tuan dan para kekasih…
Dan kalian wahai orang-orang yang berakal sempurna,kemarilah dan tolonglah kami karena Alloh.
Kami meminta kepada kalian, kami meminta kepada kalian…
Karena kedekatan (kalian di sisi Alloh ) kami mengharap kepada kalian.
Untuk suatu perkara kami menghadapkan diri kepada kalian,maka kencangkanlah tekad kalian (untuk menolong kami) karena Alloh.
Padahal berdo'a dan Istighatsah adalah hak Allah semata dan hanya boleh ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, berdo'a termasuk salah satu ibadah, dan ibadah hanya boleh dipersembahkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.
Tidak boleh dipersembahkan kepada selain-Nya, bukankah seorang Muslim dalam setiap shalatnya berikrar di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala :
Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” (QS. al-Fatihah [1]: 5).
Sesungguhnya menyeru kepada selain Allah adalah suatu kezhaliman yang besar.
Allah berfirman :
Dan janganlah kamu memohon kepada kepada sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Alloh; sebab jika kamu berbuat (yang demikian itu) maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang zhalim.” (QS. Yunus [10]: 106).
Sebenarnya orang-orang yang telah meninggal itu tidak tahu, dan tidak sadar bahwa ada sebagian orang yang memohon kepadanya, oleh karena itu memohon kepada para Wali Quthub yang telah wafat adalah bukti akan kelemahan akal pelakunya.

Ia berpaling dari Dzat Yang Maha Mendengar lagi Mengabulkan do'a lalu meminta kepada seorang hamba yang tidak mendengar do'a orang-orang yang meminta kepadanya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang berdoa  kepada sesembahan-sesembahan selain Alloh yang tiada dapat memperkenankan (doanya) sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka. “ (QS. Al-Ahqaaf [46]: 5).
Tawassul kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan seorang sholih yang telah meninggal dalam artian menjadikan seseorang sebagai perantara dalam do'anya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah suatu kesyirikan yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam.
Ia bukanlah tawassul meskipun para pengamalnya menamakan itu sebagai tawassul.
Renungkanlah peringatan Allah berikut ini :
Barangsiapa yang memohon di samping Alloh sesembahan yang lain padahal tidak ada hujjah baginya, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tiada akan beruntung.” (QS. al-Mukminun [23]: 117)
Dan orang-orang yang kalian mohon selain Alloh mereka tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kalian menyeru mereka, maka mereka tiada mendengar seruan kalian; dan kalaupun mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaan kalian. Dan di hari kiamat kelak mereka akan mengingkari kemusyrikan kalian dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh Dzat Yang Maha Mengetahui.” (QS. Fathir [35]: 13-14).
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan dalam ayat ini, bahwa hanya Dia-lah yang Maha Berkuasa dan Mampu mengurus segala sesuatu, bukan selain-Nya.
Dan bahwasanya para sesembahan itu tidak dapat mendengar do'a, apalagi untuk mengabulkan do'a tersebut, jikapun seandainya mereka dapat mendengar, maka mereka tidak akan mampu mengabulkannya, karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk memberi manfaat atau menolak mudharat.

Jika di dalam Manaqiban tersebut tidak terdapat kemungkaran selain ini, yaitu ber-Istighotsah dan berdo'a kepada selain Allah, niscaya ini sudah cukup menjadi alasan yang sangat kuat untuk meninggalkan tradisi ini. Karena, kesyirikan adalah suatu kemungkaran terbesar dan kezhaliman terberat.
Semua dosa masih mungkin diampuni oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala selain syirik.
Sedangkan syirik, jika pelakunya tidak bertaubat sampai meninggalnya, maka surga diharamkan baginya. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutu-kan Alloh, maka sungguh Alloh mengharamkan baginya surga dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (QS. al-Ma’idah [5]: 72)

Tawassul tersebut di antaranya pada bait berikut :
Dengan kemuliaan Muhyiddin (yakni Syaikh ‘Abdul Qodir)… lepaskanlah kami dari berbagai macam musibah ya Alloh

Perlu diingat :
Jika ada yang berkata :
Kami meminta kepada mereka adalah agar mereka berdoa kepada Alloh untuk kami.
Sebenarnya kami tidaklah meminta kepada mereka, akan tetapi meminta supaya mereka mendoakan kami.
Jawabannya :
Hal ini adalah kesesatan dan kebodohan, karena mayit-mayit itu tidaklah mampu memperkenankan permintaan kalian, artinya mereka tidaklah mampu berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar mengabulkan permintaan kalian, karena manusia itu apabila telah meninggal maka terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga perkara, sebagaimana yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim.
Dari Abu Huroiroh Radiyallahu ‘anhu bahwasanya Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Jika seorang manusia mati, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak sholih yang mendo'akannya.” (HR. Muslim)
Maka mereka tidak memiliki amal sama sekali setelah meninggal dan tidak pula bisa berdo'a untuk mereka setelah meninggal, dan mereka tidak dapat mengabulkan do'a bagi seorang pun.
Jika ada yang berkata :
Bukankah ‘Umar Radiyallahu ‘anhu pernah bertawassul dengan Abbas bin ‘Abdul Muththalib Radiyallahu ‘anhu pada saat terjadinya kemarau panjang dan ia berkata, ’Ya Alloh dahulu kami bertawassul dengan Nabi kami hingga Engkau menurunkan hujan kepada kami.’?
Jawabannya :
Dalam shahih Bukhori terdapat hadits :
Dari Anas bin Malik, bahwasanya ‘Umar bin Khaththab Radiyallahu ‘anhujika terjadi kekeringan, maka beliau berdoa agar diturunkan hujan dengan bertawassul melalui perantaraan Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib. ‘Umar berkata, ’Ya Alloh, dahulu kami bertawassul dengan Nabi kami hingga Engkau menurunkan hujan kepada kami. Dan sekarang kami bertawassul dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan kepada kami’. Kemudian turunlah hujan.” (HR. al-Bukhori).
Maksud bertawassul dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam atsar di atas bukanlah “Bertawassul dengan memohon kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Akan tetapi maksudnya adalah bertawassul dengan do'a Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Yakni mereka datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  lalu memohon kepada beliau agar berdo'a kepada AllohSubhanahu wa Ta’ala untuk mereka.
Oleh karena itu ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat, para sahabat tidak bertawassul dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi bertawassul dengan do'a paman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib Radiyallahu ‘anhu yang saat itu masih hidup.

0 Response to "Manaqib Syeh Abdul Qodir Al jaelani"

Post a Comment

Kami Telah Menandai Spam Pada Komentar Yang Memberikan Link Hidup.