Perjuangan Pangeran Diponegoro

pangeran diponegoro
Nama Lengkap:Pangeran Harya Diponegoro
Lahir:11 November 1785 di Yogyakarta
Agama:Islam
Wafat:8 Januari 1855 Di Makassar

Perang Pangeran Diponegoro (1825-1830

Setelah kekalahannya dalam peperangan era napoleon di Eropa, pemerintah belanda yang berada dalam kesulitan ekonomi berusaha menutup kekosongan kas mereka dengan memberlakukan berbagai pajak di wilayah jajahannya, termasuk di Hindia Belanda.

Selain itu, mereka juga melakukan Monopoli usaha dan perdagangan untuk memaksimalkan keuntungan, pajak-pajak dan praktek monopoli tersebut yang amat merugikan rakyat Indonesia yang ketika itu sudah sangat menderita.

Untuk semakin memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda mulai berusaha menguasai kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, salah satu di antaranya adalah Kerajaan Yogyakarta.

Ketika Sultan Hamengku Buwono ke IV wafat, kemenakannya, Sultan Hamengku Buwono ke V yang baru berusia 3 tahun, di angkat menjadi penguasa.
Akan tetapi pada prakteknya, pemerintahan Kerajaan di laksanakan oleh Patih Danuredjo, salah seseorang yang lebih mudah di pengaruhi dan tunduk kepada Belanda.

Pada pertengahan bulan mei 1825, pemerintah belanda yang awalnya memerintahkan pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang lewat Muntilan, mengubah rencananya dan membelokan jalan itu melewati Tegalrejo.

Rupanya di salah satu sektor, belanda tepat melintasi makam dari leluhur pangeran diponegoro yaitu RM Ontowiryo.

Hal ini membuat Pangeran Diponegoro tersinggung dan memutuskan untuk mengangkat senjata melawan belanda, ia kemudian memerintahkan bawahannya untuk mencabut patok-patok yang melewati makam tersebut, namun Belanda tetap memasang patok-patok tersebut bahkan yang sudah jatuh sekalipun, karena kesal, Pangeran diponegoro akhirnya mengganti patok-patok tersebut dengan tombak.

Belanda yang mempunyai alasan untuk menangkap Pangeran Diponegoro karena di nilai telah memberontak. Pada 20 Juli 1825, Belanda mengepung kediaman beliau di Tegalrejo, merasa terdesak, Pangeran Diponegoro beserta keluarga dan pasukannya menyelamatkan diri menuju Barat hingga desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah Selatan hingga tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah Barat dari kota Bantul.

Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa selarong sebagai tempat persembunyian, sebuah Goa yang terletak di dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya, Pangeran menempati Goa sebelah Barat yang di sebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaan beliau.

Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.

Setelah penyerangan itu, di mulailah sebuah perang besar yang akan berlangsung 5 tahun lamanya. di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam semangat "Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati" sejari kepala sejengkal tanah di bela sampai mati.

Selama perang, sebanyak 15 dari 19 Pangeran bergabung dengan Diponegoro, perjuangan Diponegoro di bantu Kyai Mojo yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan, dalam perang Jawa ini Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubowono ke VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo bupati Gagatan.

Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro mendapat dukungan dari rakyat, ulama dan juga kaum bangsawan, dari kaum bangsawan diantarnya :
Pangeran Mangkubumi
Pangeran Joyokusumo
Sementara dari kaum ulama :
Kiai Mojo
Haji Mustopo
Haji Badaruddin
Alibasha Sentot Prawirodirdjo.
Dalam usaha membangkitkan semangat juang, Kiai Mojo selalu membakar keberanian para pejuang, beliau menetapkan bahwa tujuan perang ini adalah Jihad yang harus di lakukan semua umat Islam untuk melawan orang-orang yang menyebabkan penderitaan dan kehancuran di segala bidang.

Pada tahun 1825-1826, pasukan Pangeran Diponegoro mendapat banyak kemenangan.
daerah Pacitan berhasil di kuasai pada tanggal 6 agustus 1825, menyusul kemudian Purwodadi pada tanggal 28 agustus 1825.

Pertempuran semakin meluas meliputi diantaranya :
Banyumas
Pekalongan
Semarang
Rembang
Madiun
Kertosono
Pangeran Diponegoro menugaskan parjuang ke beberapa daerah diantaranya :
Pangeran Adiwinoto dan Mangundipuro memimpin perlawanan di daerah Kedu
Pangeran Abubakar dan Tumenggung Joyomustopo, mengadakan perlawanan di daerah Lowanu
Sedangkan untuk daerah Kulonprogo di serahkan kepada Pangeran Adisuryo dan anaknya Pangeran Sumenegoro untuk memimpin perjuangan
Tumenggung Cokronegoro di wilayah Gemplong, untuk wilayah sebelah Utara kota Jogjakarta perjuangan di komandoi oleh paman Diponegoro yaitu Pangeran Joyokusumo, beliau di bantu oleh Tumenggung Surodilogo
Di bagian Timur kota Jogjakarta di embankan kepada Suryonegoro dan Suronegoro
Markas besar di Selarong dipimpin oleh Joyonegoro Sumodiningrat dan juga Joyowinoto
Sedangkan untuk daerah gunung Kidul di pimpin oleh Pangeran Singosari dan Warsokusumo
Daerah Pajang  pimpinan perang di embankan kepada Mertoloyo, Wiryokusumo, Sindurejo dan Dipodirjo, di daerah Sukawati juga di tempatkan pasukan perlawanan yang di pimpin oleh Kartodirjo
Wilayah strategis Semarang di pimpin oleh Pangeran Serang, sedangkan untuk daerah Madiun, Magetan dan Kediri,di pimpin oleh Mangunnegoro.
Pada tanggal 28 Juli 1826 pasukan Alibasha Sentot Prawirodirdjo mendapat kemenangan di wilayah Kasuran.

Pada tanggal 30 Juli 1826 Pangeran Diponegoro memenangkan pertempuran di wilayah Lengkong, kemudian tanggal 28 agustus 1826, Pangeran Diponegoro mendapat kemenangan yang gemilang di Delanggu, oleh rakyat, Pangeran Diponegoro diangkat menjadi Sultan dengan gelar Sultan Abdulhamid Cokro Amirulmukminin Sayidin Panotogomo Kalifatullah tanah Jowo.

Tidak terhitung berapa kerugian yang di derita oleh Belanda akibat perlawanan pasukan Pangeran Diponegoro, kekalahan demi kekalahan di alami oleh pasukan Belanda dalam menghadapi perang gerilya.

Akhirnya pada tahun 1827, jenderal De Kock menggunakan siasat benteng stelsel, siasat ini untuk mempersempit ruang gerak pasukan Pangeran Diponegoro dengan jalan membangun benteng-benteng sebagai pusat pertahanan dan untuk memutuskan hubungan pasukan Pangeran Diponegoro dengan daerah lain.

Belanda juga mendatangkan bala bantuan dari Sumatra Barat untuk menghadapi perlawanan pasukan Pangeran Diponegoro, taktik lain yang di gunakan belanda untuk melemahkan pasukan Pangeran Diponegoro adalah mendekati para pimpinan pasukan agar mau menyerah dan memihak kepada Belanda.

Siasat ini berhasil, Pangeran Notodiningrat Putra Pangeran Mangkubumi menyerah  pada tanggal 18 april 1828, Pangeran Aria Papak menyerah pada bulan mei 1828.

Kemudian pada tanggal 31 oktober 1828, Kiai Mojo berunding dengan Belanda, perundingan di desa Mlangi itu gagal dan Kiai Mojo di tangkap kemudian di asingkan ke Minahasa sampai akhirnya wafat pada tahun 1849 pemimpin lainnya yang masih gigih berjuang adalah Alibasha Sentot Prawirodirdjo.

Pada tanggal 20 desember 1828 berhasil menyerang benteng Belanda di daerah Nanggulan, untuk menghadapi perlawanan Sentot, Jenderal De Kock melakukan pendekatan agar ia mau berunding.

Belanda kemudian minta bantuan dari Pangeran Ario Prawirodiningrat, bupati Madiun untuk membujuk Sentot, usaha ini berhasil, pada tanggal 17 oktober 1829 di adakan perundingan perdamaian dengan syarat:
Sentot tetap menjadi pemimpin pasukan dan pasukannya tidak di bubarkan, selain itu ia dan pasukannya tetap di perbolehkan memakai Sorban.
Pada tanggal 24 oktober 1829 Sentot dan pasukannya memasuki kota Jogjakarta, kemudian oleh Belanda di kirim ke Sumatra Barat.
Karena itu, ia kemudian bergabung dengan Kaum Padri, Sentot lalu di tangkap dan di buang ke Cianjur, kemudian di pindahkan ke Bengkulu sampai akhirnya meninggal tahun 1855.

Dengan menyerahnya Sentot, kekuatan Pangeran Diponegoropun semakin berkurang, apa lagi setelah Putranya yang bernama Pangeran Dipokusumo menyerah pada belanda di tahun 1830.
Walaupun sudah banyak yang menyerah tetapi Pangeran Diponegoro masih tetap bertahan melakukan perlawanan.

Pada tanggal 21 september 1829, Belanda mengeluarkan pengumuman bahwa siapa saja yang dapat menangkap Pangeran Diponegoro akan mendapat hadiah 20.000 ringgit, tetapi usaha ini tidak berhasil.

Setelah berjuang dengan gigih akhirnya Pangeran Diponegoro bersedia berunding dengan Belanda, pada tanggal 8 maret 1830 dengan pasukannya yang masih setia telah memasuki wilayah Magelang, tetapi Pangeran Diponegoro minta perundingan di undur karena bertepatan dengan bulan Ramadhan.

Pertemuan pertama antara Pangeran Diponegoro dengan pihak Belanda yang di wakili oleh Kolonel Cleerens di lakukan pada tanggal 16 februari 1830 tepatnya di desa Remo Kamal, di tetapkan apa bila perundingan mengalami kegagalan, Pangeran Diponegoro di perkenankan kembali ke markasnya.

Pada tanggal 28 maret 1830 perundingan berikutnya di lakukan di rumah Residen Kedu, perundingan itu tidak mencapai kata sepakat, Jenderal De Kock ternyata mengingkari janjinya karena pada saat Pangeran Diponegoro hendak meninggalkan meja perundingan, beliau di tangkap oleh pasukan Belanda, hari itu juga Pangeran Diponegoro di asingkan ke Unggaran, kemudian di bawa ke gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia.
   
Pada tanggal 11 april 1830 sampai di Batavia dan di tawan, sambil menunggu keputusan penyelesaian dari gubernur Jenderal Van Den Bosch, tanggal 30 april 1830 keputusan pun keluar.

Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnoningsih, Tumenggung Diposono dan Istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno akan di buang ke Manado, pada tanggal 3 mei 1830 Pangeran Diponegoro dan rombongan di berangkatkan ke manado dan di tawan di benteng Amsterdam.

Pada tahun1834 di pindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan. pada 8 januari 1855 Pangeran Diponegoro wafat dan di makamkan di Makassar.

0 Response to "Perjuangan Pangeran Diponegoro"

Post a Comment

Kami Telah Menandai Spam Pada Komentar Yang Memberikan Link Hidup.