Nama Lengkap | : | Muhammad Shahab |
Sebutan | : | Tuanku Imam Bonjol |
Lahir | : | 1772 |
Daerah Asal | : | Minangkabau |
Agama | : | Islam |
Wafat | : | 6 November 1864 di minahasa |
Sejarah Tuanku Imam Bonjol
Pada awal pada bulan Agustus 1831 Lintau berhasil ditaklukkan, menjadikan Luhak Tanah Datar berada dalam kendali Belanda, namun Tuanku Lintau masih tetap melakukan perlawanan dari kawasan Luhak Limo Puluah.Sementara ketika Letnan Kolonel Elout melakukan berbagai serangan terhadap Kaum Padri antara tahun 1831-1832, ia memperoleh tambahan kekuatan dari pasukan Sentot Prawirodirdjo salah seorang panglima pasukan Pangeran Diponegoro yang telah membelot dan berdinas pada Pemerintah Hindia-Belanda sesudah usai perang di tanah Jawa.
Namun kemudian Letnan Kolonel Elout berpendapat, kehadiran Sentot yang ditempatkan di Lintau justru menimbulkan masalah baru.
Beberapa dokumen-dokumen resmi Belanda membuktikan kesalahan Sentot yang telah melakukan persekongkolan dengan Kaum Padri sehingga kemudian Sentot dan legiunnya di kembalikan ke Pulau Jawa.
Di Jawa, Sentot juga tak berhasil menghilangkan kecurigaan Belanda terhadap dirinya, Belanda pun juga tak ingin ia tetap berada di Jawa dan mengirimnya kembali ke Sumatera.
Namun di tengah perjalanan, Sentot diturunkan dan di tahan di Bengkulu, lalu di tinggal sampai mati sebagai orang buangan.
Sedangkan pasukannya di bubarkan kemudian dan di rekrut kembali menjadi tentara Belanda.
Sentot Prawirodirdjo, yang di ilustrasikan oleh G. Kepper, Pada bulan Juli 1832, dari Jakarta di kirim pasukan infantri dalam jumlah besar di bawah pimpinan Letnan Kolonel Ferdinand P.
Vermeulen Krieger, untuk mempercepat penyelesaian peperangan, dengan tambahan pasukan tersebut pada bulan Oktober 1832, Luhak Limo Puluah telah berada dalam kekuasaan Belanda bersamaan dengan meninggalnya Tuanku Lintau, Kemudian Kaum Padri terus melakukan konsolidasi dan berkubu di Kamang, namun seluruh kekuatan Kaum Padri di Luhak Agam juga dapat di taklukkan Belanda sesudah jatuhnya Kamang pada akhir tahun 1832, sehingga kembali Kaum Padri terpaksa mundur dari kawasan luhak dan bertahan di Bonjol.
Selanjutnya pasukan Belanda mulai melakukan penyisiran pada beberapa kawasan yang masih menjadi basis Kaum Padri. Pada awal Januari 1833, pasukan Belanda membangun kubu pertahanan di Padang Mantinggi, namun sebelum mereka dapat memperkuat posisi, kubu pertahanan tersebut di serang oleh Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Rao yang mengakibatkan banyaknya korban di pihak Belanda.
Namun dalam pertempuran di Air Bangis, pada tanggal 29 Januari 1833, Tuanku Rao menderita luka berat akibat dihujani peluru, kemudian ia di naikkan ke atas kapal untuk diasingkan.
Belum lama berada di atas kapal, Tuanku Rao menemui ajalnya.
Diduga jenazahnya kemudian dibuang ke laut oleh tentara Belanda.
Lamanya penyelesaian peperangan ini, memaksa Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Johannes van den Bosch pada tanggal 23 Agustus 1833 pergi ke Padang untuk melihat dari dekat proses operasi militer yang dilakukan oleh pasukan Belanda.
Sesampainya di Padang, ia melakukan perundingan dengan Komisaris Pesisir Barat Sumatera, Mayor Jenderal Riesz dan Letnan Kolonel Elout untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol, pusat komando pasukan Padri.
Riesz dan Elout menerangkan bahwa belum datang saatnya yg baik untuk mengadakan serangan umum terhadap Benteng Bonjol, karena kesetiaan penduduk Luhak Agam masih di sangsikan dan mereka sangat mungkin akan menyerang pasukan Belanda dari belakang.
Tetapi Van den Bosch bersikeras untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol paling lambat tanggal 10 September 1833, kedua opsir tersebut meminta tangguh enam hari sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16 September 1833.
Taktik serangan gerilya yang di terapkan Kaum Padri kemudian berhasil memperlambat gerak laju serangan Belanda ke Benteng Bonjol, bahkan dalam beberapa perlawanan hampir semua perlengkapan perang pasukan Belanda seperti meriam beserta perbekalannya dapat di rampas.
Pasukan Belanda hanya dapat membawa senjata dan pakaian yang melekat di tangan dan badannya, sehingga pada tanggal 21 September 1833, sebelum Gubernur Jenderal Hindia-Belanda di gantikan oleh Jean Chrétien Baud, Van den Bosch membuat laporan bahwa penyerangan ke Bonjol gagal dan sedang diusahakan untuk konsolidasi guna penyerangan selanjutnya.
Kemudian selama tahun 1834 Belanda hanya fokus pada pembuatan jalan dan jembatan yang mengarah ke Bonjol dengan mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa.
Hal ini di lakukan untuk memudahkan mobilitas pasukannya dalam menaklukkan Bonjol, selain itu pihak Belanda juga terus berusaha menanamkan pengaruhnya pada beberapa kawasan yang dekat dengan kubu pertahanannya.
Pada tanggal 16 April 1835, Belanda memutuskan untuk kembali mengadakan serangan besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol dan sekitarnya.
Operasi militer dimulai pada tanggal 21 April 1835, pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Kolonel Bauer, memecah pasukannya menuju Masang menjadi dua bagian yang bergerak masing-masing dari Matur dan Bamban.
Pasukan ini mesti menyeberangi sungai yang saat itu tengah di landa banjir, terus masuk menyelusup ke dalam hutan rimba, mendaki gunung dan menuruni lembah, guna membuka jalur baru menuju Bonjol.
Pada tanggal 23 April 1835 gerakan pasukan Belanda ini telah berhasil mencapai tepi Batang Gantiang, kemudian menyeberanginya dan berkumpul di Batusari, dari sini hanya ada satu jalan sempit menuju Sipisang, daerah yang masih dikuasai oleh Kaum Padri.
Sesampainya di Sipisang, pecah pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan Kaum Padri. Pertempuran berlangsung selama tiga hari tiga malam tanpa henti, sampai banyak korban di kedua belah pihak.
Akhirnya dengan kekuatan yang jauh tak sebanding, pasukan Kaum Padri terpaksa mengundurkan diri ke hutan-hutan rimba sekitarnya, jatuhnya daerah Sipisang ini meningkatkan moralitas pasukan Belanda, kemudian daerah ini dijadikan sebagai kubu pertahanan sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.
Walau pergerakan laju pasukan Belanda menuju Bonjol masih sangat lamban, hampir sebulan waktu yang di perlukan untuk dapat mendekati daerah Alahan Panjang. Sebagai front terdepan dari Alahan Panjang ialah daerah Padang Lawas yang secara penuh masih di kuasai oleh Kaum Padri.
Namun pada tanggal 8 Juni 1835 pasukan Belanda berhasil menguasai daerah ini, selanjutnya pada tanggal 11 Juni 1835 pasukan Belanda kembali bergerak menuju sebelah timur Batang Alahan Panjang dan membuat kubu pertahanan disana, sementara pasukan Kaum Padri tetap bersiaga di seberangnya.
Pasukan Belanda berhasil mendekati Bonjol dalam jarak kira-kira hanya 250 langkah pada tengah malam tanggal 16 Juni 1835, kemudian mereka mencoba membuat kubu pertahanan.
Selanjutnya dengan menggunakan houwitser, mortir dan meriam, pasukan Belanda menembaki Benteng Bonjol.
Namun Kaum Padri tak tinggal diam dengan menembakkan meriam pula dari Bukit Tajadi.
Sehingga dengan posisi yang kurang menguntungkan, pasukan Belanda banyak menjadi korban.
Pada tanggal 17 Juni 1835 kembali datang bantuan tambahan pasukan sebanyak 2000 orang yang di kirim oleh Residen Francis di Padang dan pada tanggal 21 Juni 1835, dengan kekuatan yang besar pasukan Belanda memulai gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu Benteng Bonjol di Bukit Tajadi.
Melihat kokohnya Benteng Bonjol, pasukan Belanda mencoba melakukan blokade terhadap Bonjol dengan maksud untuk melumpuhkan suplai bahan makanan dan senjata pasukan Padri.
Blokade yang di lakukan ini ternyata tak efektif, karena justru kubu-kubu pertahanan pasukan Belanda dan bahan perbekalannya yang banyak di serang oleh pasukan Kaum Padri secara gerilya.
Di saat bersamaan seluruh pasukan Kaum Padri mulai berdatangan dari daerah-daerah yang telah di taklukkan pasukan Belanda, yaitu dari berbagai negeri di Minangkabau dan sekitarnya.
Semua bertekad bulat untuk mempertahankan markas besar Bonjol sampai titik darah penghabisan, hidup mulia atau mati syahid.
Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol baru di lakukan kembali sesudah bala bantuan tentara yang terdiri dari pasukan Bugis datang, maka pada pertengahan Agustus 1835 penyerangan mulai di lakukan terhadap kubu-kubu pertahanan Kaum Padri yang berada di Bukit Tajadi, pasukan Bugis ini berada pada bagian depan pasukan Belanda dalam merebut satu persatu kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yang berada disekitar Bukit Tajadi.
Namun sampai awal September 1835, pasukan Belanda belum berhasil menguasai Bukit Tajadi, pada tanggal 5 September 1835, Kaum Padri keluar dari kubu pertahanannya menyerbu ke luar benteng menghancurkan kubu-kubu pertahahan Belanda yang di buat sekitar Bukit Tajadi. Setelah serangan tersebut, pasukan Kaum Padri segera kembali masuk ke dalam Benteng Bonjol.
Pada tanggal 9 September 1835, pasukan Belanda mencoba menyerang dari arah Luhak Limo Puluah dan Padang Bubus, namun hasilnya gagal, bahkan banyak menyebabkan kerugian pada pasukan Belanda.
Letnan Kolonel Bauer, salah seorang komandan pasukan Belanda menderita sakit dan terpaksa di kirim ke Bukittinggi kemudian posisinya digantikan oleh Mayor Prager.
Blokade yang berlarut-larut dan keberanian Kaum Padri, membangkitkan semangat keberanian rakyat sekitarnya untuk memberontak dan menyerang pasukan Belanda, sehingga pada tanggal 11 Desember 1835 rakyat Simpang dan Alahan Mati mengangkat senjata dan menyerang kubu-kubu pertahanan Belanda.
Pasukan Belanda kewalahan mengatasi perlawanan ini, namun sesudah datang bantuan dari serdadu-serdadu Madura yang berdinas pada pasukan Belanda, perlawanan ini dapat diatasi.
Hampir setahun mengepung Bonjol, pada tanggal 3 Desember 1836, pasukan Belanda kembali melakukan serangan besar-besaran terhadap Benteng Bonjol, sebagai usaha terakhir untuk penaklukan Bonjol.
Serangan dahsyat ini mampu menjebol sebagian Benteng Bonjol, sehingga pasukan Belanda dapat masuk menyerbu dan berhasil membunuh beberapa keluarga Tuanku Imam Bonjol, tetapi dengan kegigihan dan semangat juang yang tinggi Kaum Padri kembali berhasil memporak-porandakan musuh sehingga Belanda terusir dan terpaksa kembali keluar dari benteng dengan meninggalkan banyak sekali korban jiwa di masing-masing pihak.
Kegagalan penaklukan ini benar-benar memukul kebijaksanaan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda di Jakarta yang waktu itu telah di pegang oleh Dominique Jacques de Eerens, kemudian pada awal tahun 1837 mengirimkan seorang panglima perangnya yang bernama Mayor Jenderal Cochius untuk memimpin langsung serangan besar-besaran ke Benteng Bonjol untuk kesekian kalinya.
Cochius merupaken seorang perwira tinggi Belanda yang memiliki keahlian dalam strategi perang Benteng Stelsel.
Selanjutnya Belanda dengan intensif mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan 16 Maret 17 - Agustus 1837 dipimpin oleh jenderal dan beberapa perwira.
Pasukan gabungan ini sebagian besar terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis dan Ambon.
Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1. 103 tentara Eropa, 4. 130 tentara pribumi, termasuk didalamnya Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenap alias Madura).
Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda tersebut di antaranya ialah :
Mayor Jendral Cochius
Letnan Kolonel Bauer
Mayor Sous
Mayor Prager
Kapten MacLean
Letnan Satu van der Tak
Pembantu Letnan Satu SteinmetzKemudian ada juga nama Inlandsche (pribumi) seperti :
Kapitein Noto Prawiro
Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo
Karto Wongso Wiro Redjo
Prawiro Sentiko
Prawiro Brotto
Merto PoeroDari Jakarta di datangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, sejumlah orang Eropa dan Sepoys, serdadu dari Afrika yg berdinas dalam tentara Belanda, direkrut dari Ghana dan Mali, terdiri dari 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs, serta dipimpin oleh Kapitein Sinninghe.
Serangan yang bergelombang serta bertubi-tubi dan hujan peluru dari pasukan artileri yang bersenjatakan meriam-meriam besar, selama kurang lebih 6 bulan lamanya, serta pasukan infantri dan kavaleri yang terus berdatangan.
Pada tanggal 3 Agustus 1837 dipimpin oleh Letnan Kolonel Michiels sebagai komandan lapangan terdepan mulai sedikit demi sedikit menguasai keadaan, dan akhirnya pada tanggal tanggal 15 Agustus 1837, Bukit Tajadi jatuh, dan pada tanggal 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol secara keseluruhan dapat di taklukkan.
Namun Tuanku Imam Bonjol dapat mengundurkan diri keluar dari benteng dengan di dampingi oleh beberapa pengikutnya terus menuju daerah Marapak.
Dalam pelarian dan persembunyiannya, Tuanku Imam Bonjol terus mencoba mengadakan konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah, namun karena telah lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda secara terus menerus, ternyata hanya sedikit saja yang tinggal dan masih siap untuk bertempur kembali.
Dalam kondisi seperti ini, tiba-tiba datang surat tawaran dari Residen Francis di Padang untuk mengajak berunding, kemudian Tuanku Imam Bonjol menyatakan kesediaannya melakukan perundingan.
Perundingan itu di katakan tak boleh lebih dari 14 hari lamanya.
Selama 14 hari berkibar bendera putih dan gencatan senjata yang berlaku.
Tuanku Imam Bonjol di minta untuk datang ke Palupuh, tempat perundingan, tanpa membawa senjata, tapi hal itu cuma jebakan Belanda untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol, peristiwa itu terjadi di bulan Oktober 1837 kemudian Tuanku Imam Bonjol dalam kondisi sakit langsung di bawa ke Bukittinggi kemudian terus di bawa ke Padang, untuk selanjutnya diasingkan.
Namun pada tanggal 23 Januari 1838, ia di pindahkan ke Cianjur, dan pada akhir tahun 1838, ia kembali dipindahkan ke Ambon.
Kemudian pada tanggal 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol kembali dipindahkan ke Menado, di daerah inilah sesudah menjalani masa pembuangan selama 27 tahun lamanya, pada tanggal 8 November 1864, Tuanku Imam Bonjol menghembuskan nafas terakhirnya.
0 Response to "Perjuangan Tuanku Imam Bonjol"
Post a Comment
Kami Telah Menandai Spam Pada Komentar Yang Memberikan Link Hidup.