Sejarah wayang kulit di Indonesia dan tanah jawa

sejarah wayang

Nama Kesenian:Wayang Kulit
Dibuat:Mengunakan Kulit, yang diukir dan dihias
Perkiraan Sejarah dipopulerkan:Oleh Raja Kahuripan 976-1012

Sejarah singkat Wayang Kulit

Wayang kulit adalah salah satu seni tradisional Jawa, Wayang kulit biasanya dimainkan oleh seorang Dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh Wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden

Wayang kulit juga salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia, yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya.

Budaya Wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang, budaya Wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan.

Menurut penelitian para Ahli sejarah kebudayaan, budaya Wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, keberadaan Wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa.

Walaupun cerita Wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata, kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan Falsafah asli Indonesia yaitu Jawa.

Penyesuaian konsep Filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para Dewa dalam pewayangan, para Dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga makhluk ciptaan Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf.

Hadirnya tokoh panakawan dalam pewayangan sengaja diciptakan para budayawan In­donesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk mem­perkuat konsep Filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat, setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan.

Asal Usul Wayang

Mengenai asal-usul Wayang ini, di dunia ada dua pendapat diantaranya :
Pertama pendapat bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur.
Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat.
Di antara para sarjana Barat yang termasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt.

Alasan mereka yang cukup kuat, di antaranya bahwa seni Wayang masih sangat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa.
Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain.
Selain itu, nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa lain.

Kedua menduga Wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah :
Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah India.

Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pe­wayangan seolah sudah sepakat bahwa Wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negara lain.
Budaya Wayang diperkirakan sudah lahir di Indo­nesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, Raja Kahuripan 976-1012, yakni ketika Kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmur­nya.
Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad ke X. antara lain adalah naskah sastraseperti  Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan Raja Dyah Balitung 989-910, yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga In­dia, Walmiki.

Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke dalam bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan Falsafah Jawa kedalamnya.

Contohnya :
karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan cerita asli versi In­dia, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 - 1160).
Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan Raja Airlangga, beberapa Prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata "mawa­yang" dan "aringgit" yang maksudnya adalah per­tunjukan Wayang.

Mengenai saat kelahiran budaya Wayang, Ir. Sri Mulyono dalam bukunya Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang (1979), memperkirakan Wayang sudah ada sejak zaman neolithikum, yakni kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi.
Pendapatnya itu didasarkan atas tulisan Robert von Heine-Geldern Ph. D, Prehis­toric Research in the Netherland Indie 1945 dan tulisan Prof. K.A.H. Hidding di Ensiklopedia Indone­sia halaman 987.

Kata "Wayang" diduga berasal dari kata "wewa­yangan", yang artinya bayangan.
Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang Kulit yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara dalang yang memainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu.
Penonton hanya menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh pada kelir.
Pada masa itu pergelaran wayang hanya diiringi oleh seperangkat gamelan sederhana yang terdiri atas saron, todung (sejenis seruling), dan kemanak, jenis gamelan lain dan pesinden pada masa itu diduga belum ada.

Untuk lebih menjawakan budaya Wayang, sejak awal zaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita Wayang lain yang tidak berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata.

Sejak saat itulah cerita­-cerita Panji :
Yakni cerita tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan sebagai salah satu bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam, di antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai mewayangkan kisah para raja Majapahit, di antaranya cerita Damarwulan.
Masuknya agama Islam ke Indonesia sejak abad ke-15 juga memberi pengaruh besar pada budaya Wayang, terutama pada konsep Religi dari Falsafah Wayang itu.
Pada awal abad ke-15, yakni zaman Kerajaan Demak, mulai digunakan lampu minyak berbentuk khusus yang disebut Blencong pada pergelaran Wayang Kulit.

Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk pada Ramayana dan mahabarata makin jauh dari aslinya.
Sejak zaman itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh Wayang, termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam.
Sisilah itu terus berlanjut hingga sampai pada Raja-raja di Pulau Jawa, dan selanjutnya mulai dikenal pula adanya cerita Wayang pakem yang sesuai standar cerita, dan cerita Wayang carangan yang diluar garis standar.
Selain itu masih ada lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari cerita pakem.

0 Response to "Sejarah wayang kulit di Indonesia dan tanah jawa"

Post a Comment

Kami Telah Menandai Spam Pada Komentar Yang Memberikan Link Hidup.