Sejarah Cut Nyak Dien
Cut Nyak Dien, merupakan salah satu dari sekian banyak perempuan berhati baja dan berusaha melawan penjajah Belanda sebelum akhirnya ia ditangkap.
Cut Nyak Dien lahir pada tahun 1848, dari kalangan keluarga bangsawan yang sangat taat dengan agama. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, Uleebalang VI Mukim, bagian dari wilayah Sagi XXV.
Leluhur dari pihak ayahnya, yaitu :
Panglima Nanta, adalah keturunan Sultan Aceh yang pada permulaan abad ke-17 merupakan wakil Ratu Tajjul Alam di Sumatra Barat.
Ibunda Cut Nyak Dien adalah putri Uleebalang bangsawan Lampagar.Sebagaimana putri-putri dari bangsawan Aceh, sejak kecil Cut Nyak Dien mengenyam pendidikan, khususnya pendidikan dalam bidang agama, pendidikan ini selain diberikan orang tuanya, juga para guru agama.
Pengetahuan mengenai rumah tangga, baik itu memasak ataupun melayani suami dan hal-hal yang menyangkut kehidupan sehari-hari, diajarkan oleh ibunda dan kerabatnya, karena pengaruh didikan agama yang amat kuat, dan didukung suasana lingkungannya, Cut Nyak Dien memiliki sifat tabah, teguh pendirian dan tawakal.
Cut Nyak Dien dinikahkan oleh orang tuanya pada usia tahun 1862, dengan Teuku Ibrahim Lamnga putra dari Uleebalang Lam Nga XIII yang merupakan suami pertama Cut Nyak Dien.
Setelah Cut Nyak Dien dianggap mampu mengurus rumah tangga sendiri, pasangan tersebut pindah dari rumah orang tuanya, dan dilanjutkan dengan kehidupan sendiri, dan rumah tangganya berjalan baik dan harmonis mereka dikaruniai seorang anak laki-laki.
Jiwa pejuang didalam jiwa Cut Nyak Dien hadir dari ayahnya yang seorang pejuang kemerdekaan yang tidak kenal kompromi terhadap penjajahan, Cut Nyak Dien yang dibesarkan dalam suasana memburuknya hubungan antara kerajaan Aceh dan Belanda semakin mempertebal jiwa pahlawanya.
Ketika perang Aceh meletus tahun 1873, suami Cut Nyak Dien turut aktif di garis depan sehingga merupakan tokoh peperangan di daerah VI Mukim, karena itu Teuku Ibrahim jarang berkumpul dengan istri dan anaknya.
Cut Nyak Dien mengikhlaskan keterlibatan suaminya dalam peperangan, bahkan menjadi pendorong dan pembakar semangat juang sang suami tercinta, untuk mengobati kerinduan pada suaminya yang berada jauh di medan perang, sambil membuai sang buah hatinya ia menyanyikan syair-syair yang menumbuhkan semangat perjuangan.
Hal yang menyakitkan bagi Cut Nyak Dien adalah, saat mendengar berita kematian sang suami tercinta.
Kala itu Cut Nyak Dien masih berusia 28 tahun, ia bersumpah akan menuntut balas atas kematian suaminya sekaligus bersumpah hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu usahanya menuntut balas tersebut.
Dua tahun setelah kematian suami pertamanya, tepatnya pada tahun 1880, Cut Nyak Dien menikah lagi dengan Teuku Umar, kemenakan ayahnya.
Sumpahnya yang hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu menuntut balas kematian suami pertamanya benar-benar ditepati, Teuku Umar adalah seorang pejuang kemerdekaan yang terkenal banyak mendatangkan kerugian bagi pihak Belanda.
Beberapa wilayah yang sudah dikuasai Belanda berhasil direbutnya.
Dengan menikahi Cut Nyak Dien mengakibatkan Teuku Umar semakin mendapatkan dukungan, meskipun telah mempunyai istri sebelumnya, Cut Nyak Dien lah yang paling berpengaruh terhadap Teuku Umar.
Teuku Umar terkenal sebagai seorang pejuang yang banyak taktik lincah dan gesit.
Pada tahun 1893, Teuku Umar pernah berpura-pura melakukan kerja sama dengan Belanda hanya untuk memperoleh senjata dan perlengkapan perang.
Setelah tiga tahun berpura-pura bekerja sama, Teuku Umar malah berbalik memerangi Belanda.
Tapi dalam satu pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11 Pebruari 1899, Teuku Umar gugur sebagai pahlawan yang gagah berani.
Sejak meninggalnya Teuku Umar, selama 6 tahun Cut Nyak Dien melakukan serangan besar-besaran di beberapa kedudukan Belanda, segala barang berharga yang masih dimilikinya dikorbankan untuk mendanai peperangan.
Cut Nyak Dien kembali sendiri lagi, tapi walaupun tanpa dukungan dari seorang suami, perjuangannya tidak pernah surut, Cut Nyak Dien terus melanjutkan perjuangan di daerah pedalaman Meulaboh, ia seorang pejuang yang pantang menyerah atau tunduk pada penjajah.
Perlawanannya yang dilakukan secara bergerilya itu dirasakan Belanda sangat mengganggu bahkan membahayakan pendudukan mereka di tanah Aceh, sehingga pasukan Belanda selalu berusaha menangkapnya akan tetapi tidak pernah berhasil.
Keterlibatan Cut Nyak Dien dalam perang Aceh sangat terlihat sekali, ketika terjadi pembakaran terhadap Mesjid Besar Aceh.
Dengan amarah dan semangat juang yang terus berkobar berserulah Cut Nyak Dien :
“Hai sekalian mukmin yang bernama orang Aceh! Lihatlah!Kian lama pasukan Cut Nyak Dien makin melemah, kehidupan putri bangsawan ini kian sengsara akibat selalu hidup di dalam hutan dengan makanan seadanya.
Saksikan sendiri dengan matamu mesjid kita dibakarnya!
Mereka menentang Allah Subhanahuwataala, tempatmu beribadah dibinasakannya!
Nama Allah dicemarkannya! Camkanlah itu!
Janganlah kita melupakan budi si kafir yang serupa itu!
Masih adakah orang Aceh yang suka mengampuni dosa si kafir yang serupa itu? Masih adakah orang Aceh yang suka menjadi budak Belanda?” (Szekely Lulofs, 1951:59).
Usianya yang lanjut, kesehatannya semakin menurun, seiring dengan bertambahnya usia, Cut Nyak Dien pun semakin tua, di samping itu jumlah pasukannya pun semakin berkurang, ditambah lagi situasi yang semakin sulit memperoleh makanan.
Akan tetapi, ketika Pang Laot Ali, tangan kanan sekaligus panglima Cut Nyak Dien, menawarkan untuk menyerah sebagai jalan pembebasan dari kehidupan yang serba terpencil dan penuh penderitaan ini, Cut Nyak Dien menjadi sangat marah, Pang Laot Ali tetap tak sampai hati melihat penderitaan pimpinannya. Akhirnya ia menghianatinya, Pang Laot Ali melaporkan keberadaan Cut Nyak Dien kepada Belanda dengan beberapa syarat, di antaranya jangan melakukan kekerasan dan harus menghormatinya.
Begitu teguhnya pendirian Cut Nyak Dien sehingga ketika sudah terkepung dan hendak ditangkap pun Cut Nyak Dien masih sempat mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda, pasukan Belanda yang begitu banyak akhirnya berhasil menangkap Cut Nyak Dien.
Ketika ditangkap wanita yang sudah tak berdaya dan rabun ini, mengangkat kedua belah tangannya dengan sikap menentang.
Dari mulutnya terucap kalimat :
“Ya Allah ya Tuhan inikah nasib perjuanganku?Cut Nyak Dien sangat marah kepada Pang Laot Ali.
Di dalam bulan puasa aku diserahkan kepada Belanda”.
Sedangkan kepada Letnan Van Vureen yang memimpin operasi penangkapan itu sikap menentang mujahidah ini masih tetap terlihat dengan mencabut rencong hendak menikamnya.
Walaupun di dalam tawanan, Cut Nyak Dien masih terus melakukan kontak atau hubungan dengan para pejuang yang belum tunduk, tindakannya itu kembali membuat pihak Belanda marah sehingga Cut Nyak Dien pun akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat pihak Belanda telah mengingkari perjanjian dan kesepakatan dengan Pang Laot Ali.
Di Sumedang, Jawa Barat tak banyak orang yang mengetahui Cut Nyak Dien.
Tua renta dan bermata rabun, pakaiannya lusuh, dan hanya itu saja yang melekat di tubuhnya.
Sebuah tasbih tak lepas dari tangannya, juga sebuah periuk nasi dari tanah liat.
Cut Nyak Dien datang ke Sumedang bersama dengan dua pengikutnya, sebagai tahanan politik Belanda yang ingin mengasingkannya dari medan perjuangannya di Aceh pada 11 Desember 1906.
Cut Nyak Dien lalu dititipkan kepada Bupati Sumedang, yaitu Pangeran Aria Suriaatmaja yang bergelar Pangeran Makkah.
Melihat perempuan yang amat taat beragama itu, Bupati tak menempatkannya di penjara, akan tetapi di rumah Haji. Ilyas, seorang tokoh agama di Sumedang, di rumah itulah Cut Nyak Dien tinggal dan dirawat.
Keadaan ini terus berlangsung hingga 6 November 1908, saat Ibu Perbu meninggal dunia.
Dimakamkan secara hormat di Gunung Puyuh, sebuah komplek pemakaman para bangsawan pangeran Sumedang, tak jauh dari pusat kota Sumedang, sampai wafatnya masyarakat Sumedang belum tahu siapa sesungguhnya perempuan yang banyak memberikan manfaat bagi masyarakat itu, bahkan hingga kemerdekaan Indonesia.
Ketika masyarakat Sumedang beralih generasi dan melupakan Ibu Perbu, pada tahun 60-an berdasarkan keterangan dari pemerintah Belanda baru diketahui bahwa Cut Nyak Dien, adalah seorang pahlawan wanita Aceh yang terkenal telah diasingkan ke Pulau Jawa, Sumedang, Jawa Barat.
Pengasingan itu berdasarkan Surat Keputusan No. 23 (Kolonial Verslag 1907:12).
Akhirnya dengan mudah dapat dipastikan bahwa Ibu Perbu tak lain adalah Cut Nyak Dien yang diasingkan Belanda bersama seorang panglima berusia 50 tahun dan seorang kemenakannya bernama Teungku Nana berusia 15 tahun.
0 Response to "Sejarah Cut Nyak Dien Istri Teuku Umar"
Post a Comment
Kami Telah Menandai Spam Pada Komentar Yang Memberikan Link Hidup.